[BOOK REVIEW] Puasa Puisi Karya Widya Mareta

Aug 16, 2021

[BOOK REVIEW] Puasa Puisi Karya Widya Mareta – Sejak Puasa Puisi menjadi bahan diskusi dalam festival literasi Patjar Merah beberapa waktu lalu, dibahas oleh Joko Pinurbo dan Ni Made Purnamasari pula, siapa yang bisa tahan untuk nggak icip baca bukunya?

Sampulnya simpel, tapi terlihat menawan. Judulnya pun eye-catching sekali. Seperti belum mulai membaca saja sudah tampak permainan kata-kata di sana.

Dan ternyata, setelah sampai pada puisi terakhir, Puasa Puisi karya Widya Mareta jadi salah satu puisi tentang perempuan yang langsung masuk ke dalam daftar favorit. Ini review buku selengkapnya.

Baca juga: Kenapa Membaca Buku Puisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lainnya

Review Buku Puasa Puisi Karya Widya Mareta

Judul: Puasa Puisi
Penulis: Widya Mareta
Penerbit: Indonesia Tera
Terbit: Juni 2021
Bahasa: Indonesia
Jumlah halaman: 73
ISBN: 9789797753221

Bukan Cuma Sekadar Perempuan

Puasa Puisi karya Widya Mareta berkisah tentang pengembaraan seorang anak perempuan ketika kehadirannya masih dalam bentuk doa Ibu, kemudian janin, lalu bertumbuh besar hingga akhirnya beranjak dewasa dan mampu berdiri di atas kaki-tangannya sendiri.

Karya ini bukan cuma merayakan keberadaan perempuan di tengah masyarakat. Widya mengulik hal yang lebih personal: hubungan antara anak perempuan dan Ibunya, pasangannya, juga dirinya sendiri.

Bila dicermati, alur cerita puisi-puisinya runut sekali. Tema-tema yang sama dijadikan satu dan diurutkan seolah perjalanan tokoh utama sudah diatur sedemikian rupa ke dalam bagian-bagian yang lebih rinci. Buat yang “tersesat” di tengah jalan, ini akan membantu pembaca untuk menemukan jalan pintas menuju isi kepala penyair.

Omong-omong, entah mengapa saya merasa puisi-puisi di bagian awal terkesan sediiih sekali. Cerita soal kehilangan atau perpisahan menggeret pembaca untuk merasa nelangsa, sebelum akhirnya dibikin teguh dengan puisi-puisi penguatan dari tengah ke akhir.

Lantas, di mana letak kuat puisi-puisinya? Saya merasa permainan metaforanya begitu “jahil” (ah, ternyata Widya senang berteman dengan kamus). Dengan piawai ia memadupadankan diksi di sana-sini, yang tentu butuh pembacaan lebih cermat kala menganalisisnya.

Poin plus lain dari Puasa Puisi ialah beberapa bait terakhir puisinya juga begitu mengena. Ketika dibaca, seperti ada bunyi gong yang menyambar dan bikin pembaca berseru, “Wah, bagus banget puisinya!”

Seperti halnya pada bait terakhir puisi “Prosesi Perenggutan Masa Kecil (I). Begini bunyinya,

tapi jangan takut,
kau akan aman di jantungku.
rumah bebas musim yang tak lekang oleh gerutu,
untuk pulang kapan saja
mengungsi dari lukamu.

Penyair nyatanya lebih suka menulis puisi-puisi panjang yang menurutku personal, cukup melelahkan. Nggak jarang saya perlu baca berkali-kali sampai ketemu feel-nya. Banyak kata sulit yang membikin kening berkerut. Proses membacanya pun jadi lebih lama.

Apalagi, saya tipe yang lumayan “gatel” kalau nggak paham apa isi puisi yang hendak disampaikan. Rasanya pengin kulik terooos sampai dapat intisarinya.

Kendati begitu, saya sangat menikmati pembacaan Puasa Puisi dari awal hingga akhir karena di kepala saya ada kebebasan untuk menafsirkannya. Ya, itulah nikmatnya jadi penikmat buku puisi, nggak ada yang salah, nggak ada yang benar. Beneran deh, habis baca puisi tuh analytical skills-nya berasa naik 1 level saking menantangnya. 😂


Daftar Puisi yang Menarik Perhatian

Dari 44 puisi yang ditulis, seenggaknya ada 8 judul yang saya tandai sebagai puisi terfavorit. Saya akan rincikan tiga di antaranya.

1. Asmarandana

Dalam kebudayaan Jawa, asmarandana berarti tembang yang menggambarkan gejolak asmara yang dialami manusia, atau api asmara. Puisi ini pendek sekali, hanya 2 baris, berisi 12 kata. Namun, maknanya semenohok itu.

Puisi ini bercerita tentang perempuan yang punya kehendak bebas untuk melawan budaya patriarki dan konstruksi sosial buatan masyarakat, juga untuk lebih mencintai dirinya sendiri. Pemilihan kata “lipstik” menjadi bentuk protes yang bikin puisi apik ini layak dilirik.

2. “Solitude”

Ada perbedaan berarti antara solitude dan loneliness. Keduanya memang bermakna kesendirian, tetapi loneliness memiliki konotasi negatif. Sementara itu, solitude berarti being with yourself and finding balance within.

“Solitude” sendiri bercerita tentang seorang perempuan mandiri yang berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja, setelah apa yang dimilikinya nggak lagi jadi miliknya. Pada bait kedua, tampak jelas bahwa sang tokoh merindukan masa lalunya. Namun apa daya, hanya masa kini dan masa depanlah yang bisa dihadapinya.

Tokoh dalam puisi ini melewati fase kehilangan – kesendirian yang menyiksa – hingga pada akhirnya kesendirian yang membawa damai sejahtera. It resonates with me.

Baca juga: [BOOK REVIEW] Lebih Senyap dari Bisikan Karya Andina Dwifatma

3. “Pohon Ibu (Kinanthi)”

Ini adalah puisi yang membuat Ni Made Purnamasari cukup terkesan. “Pohon Ibu (Kinanthi) mengantar pembaca pada nasihat seorang Ibu kepada anak perempuannya untuk bisa menjadi pribadi yang kuat, tentunya dengan menjalankan ajaran dan pengalaman yang didapat dari sang Ibu.

Menarik sekali ketika tahu Widya Mareta mengumpamakan Ibu serupa api dan anak sebagai bayangannya. Sang Ibu berpesan bahwa anak perempuannya nggak butuh orang lain untuk bersinar karena ia adalah pancaran cahaya itu sendiri.

Nasihatnya yang meresap dalam hati terus terbawa bahkan ketika si anak perempuan  pada akhirnya berubah menjadi sosok Ibu bagi anak-anaknya kelak. Nasihatnya pun terus bergulir dari generasi ke generasi, sebuah bukti nyata bahwa kasih Ibu sepanjang masa.

Pesan dan maknanya sungguh dalam.


Makna Puasa Puisi

puasa puisi karya widya mareta

Faktanya, nggak ada satu pun puisi di buku ini yang memiliki judul “Puasa Puisi”. Namun, pada puisi “Rekreasi” di halaman 66, tertulis “maaf, aku sedang puasa puisi”, satu-satunya clue pemberian judul.

Di awal, saya sempat singgung bahwa pemilihan judul buku ini cukup catchy. Saya jadi teringat akan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa yang diplesetkan Joko Pinurbo menjadi selamat menunaikan ibadah puisi. Puasa – puisi. Kalau dipikir-pikir, kayaknya nggak ada hubungannya juga.

Widya Mareta cerita, awalnya buku puisi ini diberi judul Asmarandana, tetapi dari pihak editor dan penerbit memunculkan ide nama Puasa Puisi itu sendiri.

Selain memang kata-katanya cukup unik, Puasa Puisi sendiri dihadirkan sebagai refleksi manusia untuk mengambil jeda sejenak dari kebisingan, untuk kemudian mendengarkan hal atau isu yang memang penting. Soal perempuan, salah satunya.

Memang ya, bukan puisi namanya kalau nggak multitafsir. :))


Kesimpulan

Puasa Puisi bukan cuma sekadar basa basi. Puasa Puisi juga bukan bukti atau validasi bahwa perempuan adalah sosok kuat karena pada dasarnya perempuan memang kuat, kok. Usai membaca, saya semakin dibuat percaya bahwa puisi adalah bentuk paling abadi dari indahnya keresahan hati.

Baca juga: [BOOK REVIEW] Teaching My Mother How to Give Birth Karya Warsan Shire


Bacaan Selanjutnya

Saya jadi ingin lebih banyak membaca karya-karya penyair perempuan. Maka daftar berikut akan jadi bacaan saya selanjutnya:

  1. Ia Meminjam Wajah Puisi – Aya Canina
  2. Anak Bunga Anak Puisi – Fitra Yanti
  3. Keterampilan Membaca Laut – Ama Achmad
  4. Binatang Kesepian dalam Tubuhmu – Ilda Karwayu
  5. Anjing Gunung – Irma Agryanti

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *