Matahari Merapi dan Kisah di Puncaknya – Jika berburu matahari terbenam sudah menjadi hal yang biasa, mengapa tidak mengejar matahari terbit?
Pagi ini, saya bangun pukul tiga subuh. Saya akan pergi menuju Merapi di Kinahrejo dan melihat matahari terbit. Di dalam pikiran saya, wow, it’s extremely interesting! Perjalanan menuju Merapi sangatlah gelap, sepi, dan dingin. Maklum, mungkin kebanyakan orang masih terlelap di atas tempat tidurnya.
Pagi yang terlalu dini. Pagi yang terlalu sunyi.
Saya sempat tersasar ke sana kemari dan rasanya seperti hanya berputar-putar di tempat yang sama. Untung saja ada petugas keamanan dan warga yang hendak menuju sawah. Setidaknya, saya dan teman-teman bisa bertanya tentang arah yang tepat menuju tempat terbaik melihat matahari.
Baca juga: Kisah Spiritual di Balik Keindahan dan Kemegahan Candi Ratu Boko
Namun, perasaan mulai tak enak. Saya membuka kaca dan merasakan dinginnya puncak. Di luar masih tampak gelap, seperti ada sesuatu yang menutupi udara. Entah itu kabut… ataupun abu vulkanik. Sejenak kepanikan melanda. Namun, hati ini langsung tenang ketika salah satu warga mengatakan ini hanyalah kabut yang tebal.
Langit perlahan menjadi terang. Namun, kabut tebal masih menyelimuti. Rasa kecewa mulai merayapi hati ketika tahu bahwa saya tidak bisa melihat matahari terbit di ujung sana.
Tak mau pulang dengan rasa hampa, tepat pukul tujuh, saya dan teman-teman lain menuju tempat erupsi Merapi. Lelah rasanya harus melewati tanjakan yang begitu tinggi dan panjang. Namun, semua itu terbayarkan dengan pemandangan bersejarah di atas sana.
Di sana, saya bisa melihat rumah alm. Mbah Maridjan yang sudah rata dengan tanah. Mbah Maridjan adalah juru kunci Merapi. Sudah lama ia mendapatkan amanah yang didapat dari Sultah Hamengkubuwono IX itu.
Ya, pada 26 Oktober 2010 lalu, Gunung Merapi kembali meletus. Awan panas setinggi 1,5 km ikut terlontar dan meluncur ke pemukiman. Tak disangka, rumah alm. Mbah Maridjan menjadi salah satu sasarannya. Jasadnya pun ditemukan beberapa jam kemudian.
Baca juga: Di Candi Borobudur, Menjelang Malam
Sebagai bentuk apresiasi atas pelstarian adat dan lingkungan, alm. Mbah Maridjan mendapat penghargaan Anugerah Budaya 2011.
Di sisi lain di atas sana, saya juga melihat mobil dan motor yang terkena erupsi. Semua seperti terbakar dan meleleh. Entah, saya jadi ngeri membayangkan bagaimana gunung yang masih aktif itu bererupsi dan menghilangkan nyawa para warga yang tinggal di dekat sana.
Kendati demikian, saya teramat kagum dengan alm. Mbah Maridjan yang setia pada tanggung jawabnya. Pelestarian adat dan tradisi yang dilakukannya seakan membat saya membuka kedua mata dengan lebar. Almarhum yang sudah setua itu saja masih mau mempertahankan adat dan kebudayaan lokal Indonesia. Lantas, mengapa kita yang masih muda ini dengan mudahnya tergerus budaya luar?
Baca juga: Bertemu dengan Pelukis dan Pendiri Gereja Ayam
Rasanya matahari semakin tinggi. Udara dingin perlahan menghangat, sehangat tubuh yang kini bersyukur atas keagungan Yang Kuasa. Syukur atas Merapi yang masih menyisakan kepingan cerita….
0 Comments