Kalau Nggak Ada Buku di Dunia Ini, Apa yang Akan Terjadi?

Jul 24, 2021

Kalau Nggak Ada Buku di Dunia Ini, Apa yang Akan Terjadi? – Beberapa tahun lalu, saya sempat menonton film berjudul Perfect Sense (2011) yang dibintangi oleh Ewan McGregor dan Eva Green. Saya kira awalnya film science fiction ini hanya mengulik kisah romansa pasangan koki dan ilmuwan saja.

Ini soal mereka yang juga menghadapi epidemi virus mematikan yang mengakibatkan orang-orang kehilangan kemampuan indra mereka (ya, termasuk penciuman). Dalam sistem tubuh manusia, tentu indra adalah hal yang sangat penting.

Dan entah kenapa saya merasa bahwa dalam dunia literasi, buku seolah-olah jadi “indra” atau sistem dengan peran cukup krusial yang mampu membantu aktivitas manusia itu sendiri.

Dalam Perfect Sense, ketika indra manusia hilang satu per satu, dunia digambarkan kacau sekali. Saya jadi membayangkan gimana jadinya, ya, kalau buku-buku yang saya baca selama ini, tahu-tahu dibredel, atau mungkin mendadak hilang seperti dalam film, mungkin dunia akan sama kacaunya?

Eitsss … tunggu dulu. Setelah tulisan ini terbit, saya jadi berbincang soal topik ini dengan Uda Aldo, salah satu teman diskusi di dunia literasi. Kami sepakat bahwa ternyata masih ada yang salah kaprah mengenai definisi “buku” itu sendiri, termasuk saya.

Sebenarnya, buku dapat diartikan sebagai binding object. Maka, ketika mengacu pada tema “kalau di dunia ini nggak ada buku”, penting untuk lebih dulu membedakan definisi antara buku sebagai format/media dan isi di dalam buku tersebut.

“Ketiadaan buku secara harfiah tidak berakibat isi buku tidak terakomodasikan,” kata Uda Aldo.

Saya setuju. Dulu, masa-masa ketiadaan buku sebenarnya pernah terjadi, lho. Sebelum ditemukannya mesin cetak pertama oleh Johannes Gutteberg, manusia menulis dan menyampaikan informasi lewat berbagai medium, seperti batu, kayu, daun lontar, bambu, dan sebagainya. Ketika diganti menjadi buku, media penyebaran informasinya pun jadi berkembang lebih cepat.

Jadi, kalau di dunia ini nggak ada buku, sebenarnya masih ada format-format lain yang dapat dijadikan sebagai media untuk mendistribusikan informasi tersebut. Di zaman sekarang dengan teknologi yang sudah lebih canggih, mungkin kita bisa menggunakan video atau podcast, misalnya?

Namun, mari kita berandai-andai. Kalau boleh ditarik ke pengalaman personal, mungkin ketiadaan medium atau bentuk fisik buku akan memengaruhi apa yang pernah terjadi pada diri saya di masa lampau, masa kini, juga di masa depan. Ini gambaran yang ada di dalam kepala.

Kalau nggak ada buku, mungkin saya dulu nggak akan ngambek sama Mama-Papa yang menolak kasih uang jajan buat beli komik. Mungkin saya akan ngambek karena mereka nggak kasih saya nonton video YouTube.

Kalau nggak ada buku, mungkin saya nggak akan memelas minta dibikinkan rak buku warna putih sama Papa. Dan mungkin rak buku yang ada di hadapan saya ketika membuat tulisan ini, nggak akan pernah tampak wujudnya.

Kalau nggak ada buku, saya mungkin akan lebih suka main di Timezone atau nonton film di bioskop saja ketika menghabiskan waktu di mal, karena sudah pasti Gramedia dan Kenny G-nya nggak bakalan eksis.

Kalau nggak ada buku, saya mungkin nggak akan bela-belain ikutan segala jenis book fair di Jakarta demi ketemu penulis favorit, minta tanda tangan mereka, dan foto bareng. (Duh, zaman-zaman itu.)

Kalau nggak ada buku, mungkin saya akan lebih memilih untuk mengalokasikan tabungan untuk icip makanan itu-itu, atau traveling ke sana kemari.

Bedah Buku dan Peluncuran Novel Nyanyian Hujan

Kalau bentuk buku fisik atau digital nggak tersedia, saya nggak akan pernah melihat nama sendiri di sampul fiksi remaja ini. Saya juga nggak akan kepikiran untuk bisa mendapatkan penghasilan dari menulis, hal yang saya cintai sejak lama.

Kalau saya nggak lagi bisa membolak-balik atau mencorat-coret halaman buku, mungkin saya nggak akan pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta dengan kesenangan dan pengalaman membaca. Saya yakin kamu juga begitu.

Kalau wujud buku nggak lagi kelihatan, mungkin sebagian isi kamar saya akan berisi timbunan “sampah” lainnya yang (masih saja) enggan saya buang. Goodbye, books.

Kalau nggak ada lagi yang jualan buku, nggak akan ada lagi kurir pembawa kebahagiaan yang teriak “PAKEETTT!!!” (dan mungkin Mama-Papa nggak akan mengerutkan kening ke arah saya sembari bertanya “Beli buku lagi?”, yang mana sudah pasti mereka tahu jawabannya).

Kalau buku nggak ada, mungkin debat-debat buku fisik vs digital, buku lokal vs luar, asli vs terjemahan, book hoarder, book shaming, ribut-ribut booktwt, dan sebagainya, juga nggak akan jadi hal menarik dalam dunia literasi.

Kalau buku sudah nggak kelihatan lagi wujudnya, mungkin saya juga nggak tahu mau fotoin cuplikan dari mana sebagai kode-kode ke gebetan di media sosial (uhukk 😂).

Kalau buku nggak ada, jujur saya nggak rela kalau anak-anak saya nanti kehilangan bedtime stories bersama kedua orangtuanya. Menurut saya, kehadiran buku malah bisa jadi perekat hubungan antara orangtua dan anak di waktu-waktu berkualitas.

Kalau buku nggak ada, saya ngerasa hak dan kebebasan saya untuk belajar jadi terhambat. Saya khawatir akan semakin jadi pelupa. Saya takut meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan apa-apa.

Kalau medium buku benar-benar sudah nggak ada, ini jadi PR kita untuk menemukan sumber ilmu pengetahuan atau informasi dalam wajah baru. Namun ya, buku sendiri sudah jadi bentuk yang familiar karena kita pun sudah terbiasa dengan kehadiran, cara kerja, serta fungsinya. Kalau digantikan dengan format lain, bisa jadi kita butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

Dan karena sudah telanjur nyaman dengan bentuk yang ada seperti saat ini, rasa-rasanya saya ingin melakukan 3 inisiatif ini kalau benar-benar nggak ada lagi buku di dunia ini.

Pertama, mari kembali menghadirkan bentuk buku dengan membuat buku karangan sendiri. Hahaha, entahlah. Mungkin saya akan menulis novel fiksi lagi seperti dulu atau mulai membuat buku puisi lagi.

Saya jadi teringat dengan buku Bisikan Anak-Anak yang ditulis Enid Blyton pada tahun 1920-an. Ini adalah buku pertamanya semasa berkarya dalam penulisan. Tahu nggak, buku puisi anak ini ditulisnya karena ia merasa bahwa anak-anak pada zaman itu kekurangan puisi jenaka dan imajinatif. Ya, dibanding menunggu kehadiran buku tersebut dari orang lain, ia justru membuat sendiri buku yang “sesuai keinginannya” itu.

Kedua, saya pengin ajak teman-teman untuk menuangkan pikiran dan membagikan aspirasi kepada orang lain dalam bentuk tulisan. Mungkin seru bisa membundelnya jadi satu-dua buku.

Ketiga, kehadiran perpustakaan atau toko buku, baik fisik maupun digital, saya rasa juga perlu. Saya merasa ketika isi kepala manusia bisa terekam atau tercatat dalam bentuk buku, rasa-rasanya akan lebih mudah untuk didistribusikan dan disebarkan seluas-luasnya.

Maka, selagi masih ada kesempatan untuk bisa merasakan langsung kehadiran dan fungsi buku di dekat kita, rasanya sayang sekali, ya, bila disia-siakan begitu saja.

Tapi ya, kalau buku betul-betul nggak ada di dunia ini, baik bentuk maupun isinya, tolong… bangunkan saya segera dari film fantasi ini!

 

*) Photo by Ike louie Natividad from Pexels

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *