Yang Gugur di Medan Perang, Yang Dikenang di Ereveld Menteng Pulo

Oct 30, 2020

Yang Gugur di Medan Perang, Yang Dikenang di Ereveld Menteng Pulo – Berkali-kali saya menekan bel di sisi kiri gerbang hitam yang masih tertutup rapat pagi itu. Sekali, dua kali, tak ada yang ke luar. Hingga menggaung bunyi bel untuk kesekian kali, seorang pria dengan masker di mulutnya tampak mendekat ke arah gerbang.

“Pagi, Pak,” kata saya menyapanya.

“Pagi.” Bergegas ia membukakan gerbang, mempersilakan saya masuk dan memarkirkan kendaraan di dalam.

Ereveld Menteng Pulo, begitu tertulis di gapura utama. Seorang wanita tampak paruh baya berbaju biru menyambut kedatangan saya. Ternyata ia adalah Bu Wulan, salah seorang pengurus sekaligus pemandu di tempat ini.

Sehari sebelumnya, saya sempat mengirim DM ke akun Instagram @erevelden_in_indonesia, menanyakan apakah ada petugas yang dapat mengajak saya berkeliling di tempat ini. Balas mereka, saya dapat membuat janji terlebih dahulu atau langsung mengontak Ereveld Menteng Pulo dengan Ibu Wulan. Ah, ini dia orangnya.

Setelah berbincang sedikit soal asal dan tujuan saya ke Ereveld Mentang Pulo, Bu Wulan langsung mempersilakan saya masuk ke pendopo untuk dicek suhu tubuhnya, mengisi buku tamu, lalu diajaklah saya berkeliling.

Ereveld Menteng Pulo sejatinya merupakan Makam Kehormatan Belanda yang dikhususkan bagi para korban Perang Dunia II yang gugur dalam pertempuran melawan Tentara Jepang pada 1941-1945, serta selama masa revolusi pada 1945-1949.

Pemakaman yang berdiri di sebuah tanah berbentuk L ini dibangun oleh Belanda dan diresmikan pada 8 Desember 1947 oleh Jenderal Spoor, dua tahun berselang setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan. Tanah pemberian pemerintah Indonesia ini nyatanya menyimpan sejarah yang membuat siapa saja pilu kala mendengarnya.

Namun, jangan disangka jika korban perang di sini hanyalah tentara. Bu Wulan bercerita pada saya bahwa warga sipil pun banyak yang menjadi korban, termasuk para keluarga yang di dalamnnya terdapat anak-anak. Bahkan, saya sempat ditunjukkan sebuah makan bayi berusia satu bulan. Sedih luar biasa rasanya.

Rupanya, selama penjajahan Jepang, warga sipil Belanda ditawan dan diadikan pekerja paksa. Salah satunya adalah untuk membangun rel kereta Burma-Siam yang akan saya tunjukkan gambarnya nanti. Di sisi lain, warga pribumi Indonesia dibiarkan menderita akibat kekurangan makanan. Tak heran jika banyak yang busung lapar.

Ereveld Menteng Pulo

Berdasarkan informasi yang didapat, dulunya terdapat 22 Makam Kehormatan Belanda yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, kini hanya dijadikan 7 ereveld saja dan semuanya dipusatkan di Pulau Jawa.

Begini pembagiannya: Jakarta (Ereveld Menteng Pulo dan Ereveld Ancol), Bandung (Ereveld Pandu), Cimahi (Ereveld Leuwigajah), Semarang ( Ereveld Kalibanteng dan Ereveld Candi), dan Surabaya (Ereveld Kembang Kuning. Semua ereveld ini dikelola langsung oleh Oorlogsgravenstichting (Yayasan Makam Kehormatan Belanda).

Baca juga: Tebing Koja Tangerang: Review Tempat dan Panduan Lengkap

Oh ya, setiap ereveld ini pun memiliki keunikannya masing-masing. Misalnya, di Ereveld Ancol terdapat hemelboom atau pohon surga yang menjadi saksi bisu kekejian Perang Dunia II, sekaligus tempat sebagian besar eksekusi dilakukan. Sementara itu, hanya di Ereveld Menteng Pulo lah yang terdapat gereja untuk upacara peringatan.

Makam Kehormatan ini sangatlah penting karena dapat menyuguhkan sepenggal sejarah Belanda dan Indonesia di Asia Tenggara. Oorlogsgravenstichting ingin memastikan bahwa para korban perang dan cerita-cerita mereka tetap dapat dikenang di dalam sejarah.

Bu Wulan pun kembali bercerita bahwa masih banyak keluarga korban yang berziarah ke tempat ini. “Ada (pihak keluarga) yang datang ke sini setiap tahun. Pertama kali datang masih kuat jalan sendiri, kedua kali datang sudah mulai pakai tongkat/kursi roda. Ketiga kali sudah mulai susah jalannya. Biasanya pihak keluarga (yang sudah tua), ingatannya (tentang perang) kuat sekali. Dia cerita saudaranya jadi korban, sementara ia berhasil menyelamatkan diri,” katanya.

Ereveld Menteng Pulo (dan mungkin juga ereveld lainnya), memiliki 6 tanda makam yang digunakan sebagai salah satu identifier para korban perang.

Tanda makam ini dibedakan menurut agama dan khusus agama Kristen/Katolik, dibedakan lagi berdasarkan jenis kelamin. Oh, ada pula tanda makam yang ukurannya lebih kecil, yang mengidentifikasikan korban anak-anak.

Ereveld Menteng Pulo

Sepengamatan saya, di pemakaman yang dirancang oleh arsitek Belanda bernama Letkol Hugo Anthonius van Oerle ini ada banyak korban perang berjenis kelamin laki-laki dan beragama Kristen/Katolik. Saya jarang menemui yang beragama Buddha, sementara yang beragama Yahudi dapat dihitung jari.

Makam Muslim dapat ditemui di sisi kiri pintu masuk pemakaman yang ternyata menghadap arah kiblat, dan lainnya tersebar di beberapa titik. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari Detik.com, mayoritas warga Indonesia yang gugur adalah prajurit Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang anggotanya ialah orang Indonesia.

Selain itu, adapula makam massal, yang berarti pindahan dari ereveld lain. Saya sempat bertanya kepada Bu Wulan, “Bu, untuk makam massal, apa agama mereka? Apakah semua tanda makam massal memiliki bentuk salib juga?”

Setelah melontarkan pertanyaan itu, saya merasa agak awkward karena menanyakan apa agama seseorang. Maaf, saya hanya penasaran karena saya hanya melihat tanda makam berbentuk salib untuk makam massal.

Bu Wulan menjawab kalau makam pindahan ini memang biasanya beragama Kristen/Katolik sehingga tanda makam mereka dibuat demikian. Ah, begitu ternyata ceritanya.

Oh ya, ada pula makam bertuliskan Okenbekend yang artinya enggak dikenal. Katanya, korban (kalau enggak salah, ada anak kecil juga) yang dimakamkan ada yang tubuhnya enggak utuh sehingga sulit untuk diidentifikasi. Namun tentu saja, mereka tetap mendapat tempat yang layak di sini.

Di bagian lain pemakaman ini, tepatnya di Blok Tjililitan, terdapat makam khusus para korban perang akibat jatuhnya pesawat. Berdasarkan informasi yang diterima, ini merupakan pindahan dari Ereveld Tjililitan yang mulanya terletak di kawasan Pangkalan Udara Militer Halim Perdanakusuma.

Di area ini, terdapat sebuah tugu dengan baling-baling yang salah satu bagiannya patah. Di tugu ini tertulis, “Ter nagedachtenis aan onze gevallen kameraden” yang artinya “Untuk rekan-rekan kami yang telah jatuh”.

Saya cuma bisa bergidik ngeri membayangkan puluhan tahun silam, sembari bersyukur karena enggak hidup di zaman perang.

Di Ereveld Menteng Pulo ini pun terdapat makam dua tentara yang mungkin namanya sering disebut saat pelajaran Sekolah di bangku dasar. Mereka adalah Jenderal Spoor (ya, ia yang meresmikan tempat ini, ia pula yang tinggal selamanya di sini) dan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Sayang, saya mengetahuinya saat sudah pulang sehingga saya enggak bisa melihat langsung makam mereka.

Di sini, ketika sedang foto-foto sendiri, saya berpapasan dengan rombongan pengurus yang sepertinya hendak berkebun di area ini. Salah seorang dari mereka tiba-tiba menyapa dalam bahasa Inggris.

“Hi, how are you?” tanya seorang pria dengan kacamata hitam dan masker medisnya.

“Hi, I’m good, thank you,” sambil tersenyum saya jawab dengan agak terbata karena sama sekali enggak menyangka akan disapa dan diajak ngobrol.

“Ada pertanyaan yang ingin ditanyakan mengenai tempat ini?” Saya lupa apa pertanyaan pastinya, tapi kurang lebih ia bertanya begini. Lalu setelahnya, berbincanglah kami dengan asik.

“Ah, belum. Saya rasa Bu Wulan sudah menjelaskan semuanya.”

“Okay. Saya cuma mau ngecek apakah dia melakukan pekerjaannya dengan baik atau enggak. Siapa tahu kamu mendadak punya pertanyaan yang ingin ditanyakan.”

“Hehe, belum.”

“Kamu tahu tempat ini dari mana?”

“Oh, salah seorang teman saya pernah menulis tentang tempat ini di blognya dan saya sangat penasaran dengan Ereveld Menteng Pulo, jadi saya datang ke sini bersama Mama. Saya juga ingin menulis artikel yang sama di blog saya.”

“Di blogmu?”

Yes!

Enggak lama, pria di hadapan saya langsung mengambil kartu nama dari dompetnya dan ternyata dia adalah Robbert van de Rijdt, Direktur Oorlogsgravenstichting Indonesia. Wow, I din’t expect that. He’s such a very humble person, tho.

“Kamu bisa menghubungi email ini jika kamu membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai tempat ini yang bisa kamu tulis di blogmu karena kami akan dengan senang hati menjelaskannya. Kami juga ingin memberi tahu bahwa tempat ini bisa dikunjungi oleh siapa pun. Plus, kami enggak pengin dilihat sebagai ‘Belanda’. Di sini, banyak juga warga Indonesia (bahkan generasi muda, kalau saya enggak salah dengar) yang menjadi korban perang. Kita semua sama,” papar Robbert panjang lebar.

Ya ampun, saya terenyuh sekali. Pulang dari Ereveld Menteng Pulo, saya bukan cuma dapat foto, melainkan relasi, kebaikan, dan cerita-cerita lain yang enggak kalah berharga.

Omong-omong, di Ereveld Menteng Pulo ini, para pengunjung diimbau untuk enggak memotret dari depan/close up atau yang menujukkan nama para korban, ya. Alasannya karena sensitif.

Pernah ada ada yang post foto di makam dan menunjukkan nama dengan begitu jelas dan ternyata ada pihak keluarga yang berkeberatan. Mungkin, bisa saja karena dapat memicul luka-luka lama karena peperangan. Untuk itu, supaya berjaga-jaga dan menghormati pihak keluarga, lebih baik difoto dari belakang saja.

Entah kenapa rasanya betah sekali berlama-lama di sini. Seringkali saya bergumam dalam hati, mengagumi Ereveld Menteng Pulo yang cantik sekali. Sungguh, benar-benar terawat dan rapi.

Ya, siapa lagi kalau bukan Bu Wulan dan pengurus lain di sini yang merawatnya? Di sini memang sudah enggak ada korban perang lain yang “datang” ke Ereveld Menteng Pulo. Oleh karena itu, Bu Wulan dan petugas lain bertanggung jawab atas perawatan makam kehormatan ini.

Apa saja yang dilakukan? Mereka akan mengecek tanda makam secara berkala, apakah ada yang retak, kotor, atau mungkin catnya pudar? Jika ada, mereka akan memperbaiki tanda makam tersebut sehingga tampak bersih dan kembali baru. Beneran deh, saya enggak nemuin ada satu pun tanda makam yang kelihatan enggak bagus.

Baca juga: Masjid Seribu Pintu: Wisata Religi di Tangerang

Bu Wulan cerita, kalau ada tanda makam yang perlu dibetulkan, tanda makam akan dicabut terlebih dahulu, dicatat, kemudian dibawa ke “bengkel” di bagian belakang pemakaman untuk dibetulkan. Katanya, mereka sudah punya persediaan tanda makam kalau-kalau ada yang rusak.

Kemudian, mereka juga punya 2 penulis khusus untuk menulis keterangan di tanda makam, lho. “Karena enggak semua bisa menulisnya, kan,” ujar Bu Wulan.

Selain mengecek tanda makam, pengurus di sini juga bisa membetulkan jalanan yang rusak, membersihkan bangunan beralaskan ubin, hingga berkebun!

Jujur, Ereveld Menteng Pulo ini rasanya enggak seperti tempat pemakaman yang saya lihat biasanya. Tempat ini begitu menakjubkan dengan berbagai pohon, tanaman, serta bunga cantik (banyak bougenvil, lho!) di sana-sini. Sungguh, pemakaman ini enggak ada seram-seramnya. Seeeeecantik dan seeeeebagus itu! Jatuh hati sekali dengan tempat ini. 😍❀

Columbarium atau Rumah Abu di Ereveld Menteng Pulo

Eittsss … perjalanan saya berkeliling di Ereveld Menteng Pulo ini belum berakhir. Setelah melihat-lihat pemakaman di rumput yang begitu hijau, saya juga diajak untuk mengunjungi dua bangunan yang enggak kalah kerennya. Columbarium, namanya.

Entah kenapa tempat ini begitu mengingatkan saya pada Rumah Abu dalam Hi Bye, Mama!, serial drama Korea yang sukses bikin saya banjir air mata.

Begitu memasuki bangunan ini, saya disambut berbagai tanaman hijau, bunga bougenvil, serta kolam buatan dengan air mancur di tengahnya.

“Cantik banget, ya.” Ya ampun, semoga Bu Wulan enggak bosan mendengar celoteh kekaguman saya.

Columbarium sendiri merupakan bangunan tempat disimpannya 754 guci abu warga Belanda yang gugur dan dikremasi di sini. Pada guci tersebut tertulis nama, pangkat, tanggal lahir, juga tanggal wafat.

Sama seperti tanda makam, penataan guci abu ini juga rapi dan presisi. Para pengurus pun secara berkala membersihkan guci abu tersebut.

Saya rasa, dengan benar-benar merawat jiwa yang tersisa dari Perang Dunia II, dapat menjadi salah satu tanda kehormatan bagi mereka yang gugur membela bangsa.

Di samping Columbarium, terdapat Gereja Simultan (Simultaankerk) yang didominasi warna putih. Gereja ini enggak digunakan untuk ibadah seperti gereja lainnya, tetapi dikhususkan sebagai tempat untuk berdoa bagi semua agama, tempat untuk upacara/peringatan tertentu, atau bisa juga sebagai aula saat ada kunjungan kenegaraan.

Misalnya, setiap 4 Mei, warga Belanda yang berada di Indonesia berkumpul di sini untuk memperingati mereka yang tewas dalam Perang Dunia II dan sesudahnya.

Kalau di Indonesia, ini mirip dengan Hari Pahlawan pada 10 November. Ibu Ita Pohan, salah satu salah satu staf Oorlogsgravenstichting berkata bahwa masyarakat tidak memperingati 4 Mei sebagai Hari Pahlawan karena ada semua yang tewas ialah korban. Kemudian, pada 15 Agustus sebagai peringaran berakhirnya Perang Dunia II di Asia Tenggara.

Di depan Gereja Simultan, terdapat lonceng yang dibunyikan kala ada upacara/peringatan tertentu.

Gereja Simultan atau Simultaankerk di Ereveld Menteng Pulo

Bagaimana dengan di dalamnya? Apabila diperhatikan dalam jarak dekat, gereja ini seperti gereja Katolik sebab di altarnya, terdapat salib besar dengan tubuh Yesus terpaku di sana.

Di bagian kanan, terdapat salib kayu memorial berwarna coklat yang terbuat dari bantalan rel kereta Burma-Siam. Ini merupakan salib penghormatan bagi para tawanan perang asal Amerika, Inggris, Australia, dan Belanda, yang telah berkontribusi dalam pembangunan rel kereta tersebut.

salib kayu memorial yang terbuat dari bantalan rel kereta Birma-Siam di Ereveld Menteng Pulo

Selesai mengunjungi Ereveld Mentang Pulo, saya ingin sekai mengunjungi ereveld lainnya yang ada di Indonesia. Mungkin, yang paling dekat akan ke Ereveld Ancol.

Saya ingin membawa pulang cerita-cerita lain, untuk nantinya saya kisahkan di blog ini. Agar bukan cuma saya yang tahu, tapi teman-teman lain juga berminat untuk mengunjungi, mempelajari sejarahnya, juga memberikan penghormatan pada mereka yang gugur.

Ah, semoga cepat datang kesempatannya.


Lokasi, Alamat, dan Jam Buka

Alamat: Jl. Menteng Pulo RT.003/ RW.012, Menteng Dalam, Tebet, RT.4/RW.12, Menteng Dalam, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12870

Jam buka: Setiap hari, 07.00 – 17.00 WIB

Telepon: (021) 8313253

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flΓ’neur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia >Β 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *