How to Win Friends and Influence People in the Digital Age Karya Dale Carnegie – Sudah satu tahun lebih saya bekerja dari rumah dan memanfaatkan koneksi internet untuk tetap terhubung dengan rekan-rekan kantor. Ini jadi pengalaman luar biasa bagi saya.
Setelah tempat saya bekerja “dicaplok” salah perusahaan Decacorn pertama di Indonesia, saya jadi punya tim baru, teman-teman baru, rekan-rekan kantor baru, bos-bos baru, yang hampir semuanya belum pernah saya temui secara offline.
Selama ini kami berkomunikasi lewat Slack, WhatsApp, Zoom, atau Google Meet. Saat meeting, kami pun nggak melulu menyalakan kamera dan melihat wajah satu sama lain. Nggak heran kalau saya sering mengerutkan kening ketika mendengar suara-suara yang nggak familiar di telinga. “Ini siapa yang ngomong, ya?” terka saya dalam hati.
Dan ya, rasanya sulit sekali untuk bertukar perasaan emosional satu sama lain.
Ngomongin soal kerja dari rumah di masa-masa seperti ini nyatanya mengingatkan saya pada buku nonfiksi berjudul How to Win Friends and Influence People in the Digital Age yang ditulis oleh Dale Carnegie.
Karya-karya Dale Carnegie bisa dibilang cukup klasik (kalau nggak mau disebut jadul). Namun herannya, apa yang dipaparkannya di dalam buku, bisa tetap relevan dan diaplikasikan di zaman sekarang, termasuk dalam hal pekerjaan. Bakal jadi bacaan menarik, nih!
Baca juga: 8 Cara Membaca Buku Berbahasa Inggris (Juga Menikmatinya)
[Book Review] How to Win Friends and Influence People in the Digital Age Karya Dale Carnegie
Judul: How to Win Friends & Influence People in the Digital Age
Penulis: Dale Carnegie
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 29 Maret 2012
Bahasa: Indonesia
ISBN: 9789792282504
Saya pernah membuat ulasan buku ini di Instagram, dengan mengambil point of view sebagai seorang digital creator. Namun kalau dipkir-pikir, apa yang disampaikan Dale Carnegie dalam buku ini juga pas bila diterapkan dalam dunia kerja.
Ya, meski ada beberapa hal yang perlu di-adjust dan dikaitkan relevansinya, seenggaknya Dale Carnegie sudah lebih dulu memberi “bekal” kepada setiap pembaca. Pembaca nggak perlu ngulik dari awal, hanya perlu meneruskan dan mengaplikasikannya aja.
Pada buku setebal 350 halaman ini, Dale Carnegie menekankan bahwa komunikasi merupakan hal yang begitu krusial dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melakukan praktik komunikasi yang baik, kita dapat membangun network, lebih dipercaya, membangun kepemimpinan yang menarik, serta membuat diri menjadi punya ciri khas.
Saya semakin sadar, di tengah keterbatasan komunikasi karena bekerja secara remote, How to Win Friends and Influence People in the Digital Age karya Dale Carnegie menyuguhkan banyak poin bermanfaat yang sebenarnya bisa membantu saya untuk bekerja lebih efektif. Misalnya…
1. Sebelum memberikan feedback, pastikan kita nggak terbawa emosi
I do believe that criticism is a gift. Nggak perlu nunggu tengah atau akhir tahun. Feedback ini bisa diberikan kapan saja kita merasa butuh. Dan oh ya, feedback bukan cuma diberikan kepada orang lain, melainkan diri sendiri.
Akan tetapi, terkadang kita clueless banget, nggak tahu bagaimana menyampaikan feedback dengan konstruktif dan sopan. Metode feedback sandwich pernah disarankan, tapi ada yang berpendapat bahwa metode ini sudah cukup outdated.
Lantas, apa kaitannya dengan buku ini? Di sini, Dale Carnegie lebih menekankan pada emosi atau ego yang harus kita tinggalkan saat melontarkan pendapat atau kritik tersebut. Kalau sudah keburu emosi, yang ada kita nggak bisa mengutarakan apa yang di kepala dengan jernih.
“… para pemimpin berwibawa terhebat adalah mereka yang menahan lidah mereka dan menelan gengsi mereka saat ombak emosi negatif mulai meninggi…”
Gunakan lidah secara bijaksana, niscaya kita bisa memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap orang lain.
2. Fokus pada hal-hal positif
Kesalahan dalam melakukan pekerjaan adalah hal yang sebenarnya bisa dihindari, apabila persiapannya sudah cukup matang. Namun, kalau lagi apes ya … adaaaa aja celahnya. Ketika berada di situasi tersebut, Dale Carnegie menyarankan supaya kita bisa memiliki kecerdasan untuk melihat hal positif, dibandingkan fokus pada kesalahan yang udah terjadi.
Sebagai contoh, teman atau rekan kerja kamu melakukan kesalahan yang bikin campaign kalian nggak mencapai target. Alih-alih memojokkan dirinya karena 1 kesalahan yang dibuat, kenapa nggak fokus pada 9 upaya yang udah dilakukan guna membuat campaign berjalan dengan baik?
“Saat kita memperlakukan seseorang sesuai dengan seperti apa dirinya, kita menjadikannya lebih buruk dibandingkan dirinya saat ini; jika kita memperlakukannya seakan-akan dia sudah mencapai potensinya, kita menjadikan dirinya yang seharusnya.”
Dale Carnegie juga menyarankan kita untuk menggunakan kalimat-kalimat positif sebagai bentuk dorongan. Kenapa? Soalnya bakalan lebih empowering.
Contoh kalimat yang bisa kita gunakan: “Senggaknya kita udah coba. Kalau nggak coba, kita nggak bakalan tahu hasilnya akan seperti ini, kan? Nggak apa-apa, kita jadiin itu sebagai pembelajaran aja, ya.”
“… orang yang berbicara dengan semangat menghormati dan menegaskan kebaikan tanpa berlebihan akan selalu mendapatkan lebih banyak teman dan memengaruhi lebih banyak orang untuk kemajuan yang positif, jika dibandingkan dengan orang yang berkomunikasi melalui kritik, omelan, dan sikap menyalahkan.”
3. Jangan lupa tersenyum! 😀
Kembali lagi soal virtual meeting. Meski rekan-rekan kerja lain juga nggak menyalakan kamera dan saya nggak bisa lihat ekspresi mereka, guess what, saya bisa dengan mudahnya mengimajinasikan raut wajah mereka, hanya dengan mendengar nada bicara.
Dan ya, How to Win Friends and Influence People in the Digital Age pun menyarankan pembaca untuk nggak lupa tersenyum.
“…saat kita tersenyum, kita memberi tahu orang bahwa kita bahagia bersama mereka, bahagia bertemu mereka, bahagia dapat berinteraksi dengan mereka. Sebagai balasannya, mereka juga merasa lebih bahagia karena berurusan dengan kita.”
That’s very true. Makanya, meski nggak tatap muka secara langsung, saya bisa merasakan bahwa lawan bicara saya sedang tersenyum. Makanya, saya paling senang berkomunikasi atau dengerin temen-temen yang sedang presentasi, dengan pembawaan yang energik dan ceria. Nada suaranya terdengar begitu menyenangkan. Rasanya jadi ikutan semangat! 😀
“Entah online atau offline, jika Anda tersenyum, dunia tersenyum bersama Anda.
Senyum ini bukan hanya berlaku secara verbal aja, ya. Kita juga bisa menerapkannya pada medium lain, seperti emoji dan emoticon, serta teks.
Let’s say, ketika kita menulis email, nada suara yang digunakan, serta kata yang dipilih, bisa menjadi alat untuk menunjukkan keramahan. Hal seperti inilah yang membuat kita bisa lebih memberikan dampak kepada orang lain.
4. Simaklah ketika orang lain sedang berbicara
Hayoo … coba ngaku. Siapa yang pas lagi meeting, malah mainan HP? Hahaha. Jujur, saya pernah. 😅
Tahu nggak, ketika kita menyimak rekan kerja yang sedang memaparkan suatu materi presentasi misalnya, hal itu menunjukkan bahwa kita bersedia untuk lebih mementingkan orang lain dibandingkan kepentingan kita. Mendengarkan = menghormati.
“Menyimak adalah kekuatan untuk memberikan apa yang sangat diinginkan orang lain –untuk didengar dan dimengerti.”
Dan hal ini pun sejalan dengan apa yang sering dikatakan orang lain, “Kalau mau dihormati, ya kita harus menghormati mereka lebih dulu.” Sama halnya ketika kita ingin didengarkan, ya dengarkanlah mereka juga.
5. Mulailah belajar untuk mengingat nama orang lain
Saya termasuk yang kesulitan untuk mengingat nama orang lain, terutama pas baru kenalan. Untungnya, ketika bekerja dari rumah dan apa-apa serba digital, saya bisa menemukan nama mereka dengan mudah di berbagai platform, misalnya Slack atau Zoom. Hanya saja, entahlah, kalau ketemu langsung, mungkin akan lupa-lupa ingat. Hehehe. 😆
Anyway, mengingat nama seseorang ternyata penting banget, lho, meski kerapkali dianggap sepele.
“Jika Anda mengingat nama orang dan menggukanannya, secara tidak langsung Anda memberikan pujian yang halus dan sangat efektif. Namun, jika Anda melupakan atau salah mengejanya, Anda menempatkan diri Anda di sebuah tempat yang sangat tidak menguntungkan.”
Baiklah, kalau begitu saya harus mengasah ingatan dan belajar untuk mengingat nama-nama yang baru saya kenal. Semoga lebih mudah di era digital ini. 😀
Selanjutnya Baca Apa?
Semoga cuplikan isi buku How to Win Friends and Influence People in the Digital Age di atas bisa memantik rasa penasaran untuk juga menyelami bukunya, sembari mempraktikan demi pekerjaan yang lebih efektif. Rasa-rasanya, saya akan menambahkan beberapa poin tambahan untuk tulisan ini di kemudian hari.
Nah, setelah membaca buku ini, silakan dilanjutkan dengan bacaan lain yang nggak kalah menarik di bawah ini, ya.
- You Do You karya Fellexandro Ruby
- Do Over karya Jon Acuff
- Atomic Habits karya James Clear
0 Comments