Mandi di Sungai dan Menginap Semalam Bersama Masyarakat Baduy Dalam

Feb 4, 2014

Mandi di Sungai dan Menginap Semalam Bersama Masyarakat Baduy Dalam – Kalau sudah membaca artikel saya mengenai hari pertama menjelajahi suku Baduy, kamu akan tahu kalau di hari itu kami enggak jadi langsung menuju Baduy Dalam. Ya, rintik-rintik hujan dan langit yang semakin gelap terpaksa menahan kami di Baduy Luar. Karena kami ingin segalanya tetap aman, kami pun memilih untuk beristirahat terlebih dulu.

Ya, hingga akhirnya tibalah hari kedua. Saya sengaja bangun pagi dan segera bersiap-siap menuju Baduy Dalam. Badan lumayan pegal karena karena sepanjang malam cuma tidur-tidur ayam. Tapi semoga perjalanan menuju Baduy Dalam enggak seberat yang dikira.

Sebab, baru saja yaya menelan ludah ketika mendengar durasi perjalanan nantinya. Empat jam. Ya, empat jam yang akan dilewati dengan berjalan kaki sepanjang hari, melewati jalanan yang rusak, ditemani cuaca yang nggak menentu. Hahaha, wish me luck, ya! 😆

Mandi di Sungai dan Menginap Semalam Bersama Masyarakat Baduy Dalam

Sebelum berangkat menuju Baduy Dalam, saya mendengar ada suara merdu nggak jauh dari rumah tempat saya menginap. Ternyata, para gadis dan wanita Baduy sedang menumbuk padi.

Menumbuk padi adalah kebiasaan perempuan-perempuan Baduy di pagi hari. Bunyi merdu dari lesung seakan-akan membuat melodi syahdu di tengah dinginnya udara pagi. Nantinya, padi yang sudah ditumbuk ini diletakkan di dalam leuit dan bisa disimpan selama puluhan tahun lamanya.

berfoto bersama sembari beristirahat menikmati pemandangan

Tanpa berlama-lama, saya dan teman-teman pun melanjutkan perjalanan sebab matahari sudah kian tinggi. Perjalanan nyatanya nggak semudah yang dibayangkan. Jalanan terjal, turunan yang licin, bebatuan, jalanan sempit, tanjakan yang begitu tinggi… wah, saya harus berhati-hati dalam mengambil langkah supaya nggak terpeleset. Namun apa daya… akhirnya saya terpeleset juga. 😭😂

Sepanjang perjalanan, saya selalu bertanya, “Kapan sampai, ya? Masih lama nggak? Berapa lama lagi perjalanannya?”. Waahh… rasanya ingin cepat-cepat sampai di Baduy Dalam! Saya banyak mendengar cerita kalau Baduy Dalam lebih bagus dibanding Baduy Luar. Jadi makin penasaranlah saya.

Terpukau dengan Desa Cibeo

suku baduy dalam - suku baduy luar

Setelah berhenti berkali-kali, menelan beberapa teguk air, dan menghapus peluh, sampailah kami di desa Cibeo. Desa ini merupakan desa terluar di Baduy Dalam. Nggak bisa bohong, saya terpukau dengan keindahan Baduy Dalam. Saya juga nggak bisa mengelak kalau Baduy Dalam memang lebih bagus dan rapi dibandingkan Baduy Luar.

Kami menginap di salah satu rumah warga. Maaf, saya lupa siapa nama pemilik rumah, tapi Beliau sama baik hatinya dengan Pak Kasmin dari Baduy luar.

Sesampainya di Baduy Dalam, saya langsung memerhatikan apa saja hal-hal yang berbeda dari Baduy Luar. Di sini, rumah-rumah dibangun memang lebih tinggi dibandingkan Baduy Luar dan menggunakan rumbia yang diikat dengan rotan.

Kemudian, rumah kepala adat atau pu’un diberi ciri khas tersendiri, yakni dibangun dengan posisi menghadap ke utara dan selatan. Selain itu, halaman rumah pu’un begitu luas dan dihiasi hamparan rumput hijau. Nggak sembarangan orang bisa memasuki wilayah rumah pu’un tanpa keperluan khusus karena akan dianggap nggak sopan, lho.

Pantang Teknologi

masyarakat terbiasa tidak mengenakan alas kaki ketika bepergian

Baduy Dalam nyatanya memiliki aturan dan adat istiadat yang lebih ketat. Masyarakat Baduy Dalam dan semua pengunjung yang datang harus pantang teknologi. Warga Kanekes tidak diperbolehkan menggunakan teknologi seperti ponsel, kamera, dan lain-lain.

Hal ini pulalah yang menjadi pantangan saat mengunjungi masyarakat Baduy Dalam, di mana kami para pendatang juga nggak diperbolehkan mengabadikan momen di sana. Makanya, kalau ingin mengingat perjalanan saya ketika berada di Baduy, tulisan ini selalu menjadi kenangan yang nggak akan bisa saya lupakan.

Hal lain yang saya perhatikan ketika menjelajahi suku Baduy Dalam adalah masyarakatnya nggak mengenakan alas kaki. Kebiasaan yang dilakukan sejak kecil ini nyatanya membuat warga Baduy Dalam menjadi kuat ketika harus bepergian jauh. Bahkan, Kang Sarmidi dan Sarwadi pernah melancong ke Bekasi tanpa menggunakan alas kaki! Saya cuma bisa tercengang takjub! 😲

Di sisi lain, mereka menggunakan pakaian khusus yang sepertinya modelnya itu-itu aja. Katanya, namanya adalah baju sangsang, biasanya cuma berwarna hitam atau putih yang mana ditenun sendiri. Di sisi lain, mereka juga harus menggunakan ikat kepala berwarna putih dan gelang pemberian dari lahir. Jadi, apabila kamu bertemu dengan masyarakat dengan ciri-ciri di atas, siapa tahu mereka berasal dari Suku Baduy.

Selain itu, di Baduy Dalam juga nggak diperbolehkan untuk merokok dan mabuk-mabukan. Menggunakan sabun untuk mandi dan pasta gigi pun juga sama. Selama ini, orang-orang Baduy menggunakan sabut kelapa untuk menggosok gigi, larek (semacam tumbuhan yang bisa mengeluarkan busa) untuk mencuci baju.

Nah, apabila masyarakat Baduy Dalam melanggar aturan tersebut, pu’un nggak segan-segan mengeluarkan mereka dari sana. Saya pun baru tahu kalau masyarakat Baduy Dalam juga bisa dikeluarkan dari wilayah tersebut apabila mereka berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam atau menikah dengan masyarakat Baduy Luar. Hmm… tampaknya, adat istiadat memang menjadi tolok ukur bagi seseorang untuk melakukan kesehariannya.

Mandi di Sungai

mandi di sungai dengan air yang segar

Saat sore menjelang, saya dan teman-teman memutuskan untuk mandi di sungai. Tentu aja, masih dengan pakaian lengkap. Hahaha. Omong-omong, airnya bening banget, terlihat bersih, segar pokoknya! Saat kami mandi, ada beberapa wisatawan lain yang sepertinya anak-anak SMA. Mereka datang secara rombongan dari sekolah.

Saat kami mandi di sungai, lucunya, beberapa bocah kecil mengamati kami dari atas jembatan sambil tertawa. Nggak jauh dari sana, saya juga melihat Ibu-ibu Baduy Dalam yang dengan asyiknya mandi di sungai dengan bertelanjang dada. Kaget juga. Padahal, sungai itu merupakan alam terbuka dan ada Bapak-bapak juga yang melintas di jembatan.

Selesai mandi, kami kembali rumah tempat kami menginap. Nggakk lama, salah satu teman saya mengabari kalau perutnya sakit dan ingin buang air. Paniklah kami. Hah, di mana harus buang air kalau nggak ada kamar mandi? Akhirnya, kami bertanya ke warga sekitar di mana tempat untuk buang air.

Salah satu warga yang kami tanya menjawab dengan bahasa yang nggak kami mengerti. Tangannya menunjuk ke sana kemari, berusaha memberi petunjuk arah. Setelah berterima kasih, kami mencari tempat yang dimaksud dan ternyata bila ingin buang air, wisatawan bisa melakukannya di sungai di antara rawa-rawa.

Ya ampun, kalau saya berada di posisi teman saya, saya kayaknya lebih milih buat nahan aja, deh. Huhuhu. Mana nyaman buang air di tempat terbuka seperti itu?

Kelahiran, Pernikahan, dan Kematian

salahs atu mata pencahariaan masyarakat adalah mencari kayu di hutan

Setelah mengetahui bagaimana budaya Baduy Dalam sebatas kulitnya saja, kini waktunya menyelam lebih dalam dan mengulik soal kelahiran, pernikahan, juga kematian masyarakat ini. Apalagi, masyarakat Baduy masih memegang teguh adat-istiadat mereka yang turun-temurun.

Kelahiran

Sistem kelahiran masyarakat Baduy menggunakan bantuan paraji atau dukun beranak. Prosesnya sangat sederhana dan jauh dari kata modern. Kemudian, penamaan untuk anak-anak di Baduy juga cukup menggunakan satu kata saja, misalnya Jamra, Jamir, Kasmin, Armuta, dan lain-lain. Nama yang cukup unik untuk dipakai, ya?

Pernikahan

Ternyata, masyarakat Baduy menikah pada umur 20-25 tahun untuk laki-laki dan di atas 16 tahun untuk perempuan. Masyarakat Baduy Dalam dijodohkan satu sama lain, nggak peduli ada hubungan persaudaraan atau hubungan darah.

Pernikahan ini memakan waktu kira-kira satu tahun dan melalui tiga tahap, yakni

  1. pihak laki-laki menanyakan kesediaan dari pihak perempuan;
  2. apabila si perempuan setuju, si laki-laki akan membawa peralatan dapur yang menyatakan keseriusannya;
  3. mereka berdua bisa menikah dan pihak laki-laki membawa perhiasan (mahar). Nah, jika ingin mencari perempuan Baduy yang belum menikah, kita bisa melihatnya dari anting berwarna yang dikenakannya.

Yang saya tangkap, bisa dibilang hampir semua masyarakat di Baduy Dalam ini memiliki tali persaudaraan. Mengapa? Sebab perjodohan ini dilakukan hanya untuk wilayah Baduy Dalam saja. Istri cukup satu dan mereka nggak diizinkan bercerai. Berbeda dengan masyarakat Baduy Luar, mereka bebas memilih pasangan hidup mereka masing-masing.

Omong-omong, di Baduy enggak mengenal adanya poligami, ya.

Kematian

Hal lain yang nggak kalah unik untuk dikulik ialah soal kematian. Ketika ada salah satu masyarakat Baduy yang meninggal dunia, akan diadakan acara pada hari pertama, ketiga, dan ketujuh. Prosesi pemakaman berlangsung singkat. Orang yang meninggal akan dibungkus kain putih dan dimandikan di tempat pemandian setinggi dada, lalu dikubur di tempat khusus.

Pada hari ketiga, akan diadakan selametan. Pada hari ketujuh, kuburan tetap dirawat. Anehnya, setelah kuburan kembali menjadi rata, daerah itu bisa diinjak-injak dan bisa digunakan sebagai ladang. Saya jadi bertanya-tanya, jangan-jangan ladang yang pernah saya lewati adalah bekas…. 😲

Nah, itulah dia pengalaman saya bertemu sapa dan berkenalan dengan suku Baduy Dalam. Suatu pengalaman yang nggak bisa saya lupakan!

Nggak kerasa, besok kami sudah harus kembali ke desa Ciboleger lagi, lalu pulang ke rumah masing-masing. Rasanya masih nggak rela bila harus meninggalkan keindahan suku Baduy ini. Jangan kelewatan untuk membaca perjalanan saya pada hari ketiga di sini, ya.


Ada yang udah pernah ke Baduy Dalam?

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *