Buku dan Perihal Membaca: Yang Mengisi, Menyelamatkan, dan Membuka Kesempatan… – Hidup saya berada di ambang ketidakpastian setahun belakangan ini. Kalau ada yang bilang pandemi mengubah segalanya, saya 99% setuju.
Keluhan demi keluhan seperti, “Duh, kerjaan makin banyak nggak, sih, selama WFH?”, “Asli, kayak enggak ada batas antara kerjaan kantor sama kerjaan domestik”, “Kapan pandeminya kelaarrr?”, seperti sudah jadi makanan sehari-hari. Capek enggak, sih? Banget. Tapi dinikmati aja.
Bukan cuma urusan kerjaan aja yang berubah, kebiasaan membaca saya juga ikut bergeser. Puji Tuhan, bergesernya ke arah yang positif. Misalnya, saya coba buat jadwal rutin baca buku, jadi lebih rajin ikut atau bikin diskusi buku, punya reading buddy yang bisa bantu saya untuk menyelesaikan buku lebih cepat, dan seterusnya.
Setahun belakangan ini memang banyak plus-minusnya, naik-turunnya, jatuh-bangunnya. Well, that’s life. Tapi, satu hal penting yang saya sadari ialah, di saat kita #BersamaBeradaptasi, hidup teruslah berproses.
Dan nyatanya, proses itu terangkum dalam 5 catatan penting berkenaan dengan buku dan perihal membaca yang terangkum di bawah ini.
Buku dan Perihal Membaca: Yang Mengisi, Menyelamatkan, dan Membuka Kesempatan…
1. Baca Bareng Tangerang pindah ke platform online
10 November 2019 lalu, saya dan Ucha mengadakan Baca Bareng Tangerang (BBT) offline untuk pertama kali. Bisa bangun komunitas literasi sendiri tentu menjadi salah satu impian yangi ngin saya jalankan sejak dulu.
Saya ingat, ada dua buku yang saya bawa kala itu, salah satunya adalah Tak Masalah Jadi Orang Introver karya Sylvia Loehken. Sebagai seorang introvert (lebih tepatnya ambivert, sih), tentu saja judulnya sudah memancing rasa ingin tahu saya.
Empat bulan berselang, tepatnya pada Maret 2020, kami mau tak mau memindahkan acaranya ke platform online karena pandemi. Awalnya, kami buat diskusi tertutup, tapi lama-kelamaan teman-teman lain kami undang untuk ikut bergabung karena kami ingin komunitas ini bisa jadi wadah inklusif untuk siapa aja.
Paling happy, deh, kalau banyak yang mau ikutan diskusi BBT. Rasanya, impian saya untuk ngajak masyarakat Indonesia lebih rajin membaca seolah selangkah lebih dekat.
Jangan salah. Ada masa-masa di mana saya pengin nyerah bangun komunitas ini. Serius. Misal, saya beneran lagi enggak ada waktu untuk urusnya, member di grup enggak aktif dan berasa dikacangin, peserta diskusi yang datang sedikit, dst. Seperti … udahlah, ngapain dilanjutin, sih?
“Eh, lanjutin aja! Ini kan karyamu. Aku kagum sama kamu yang benar-benar tetap enggak goyah bikin baca bareng ini,” kara seorang teman.
Dan semangat saya kembali berapi-api, meski terkadang beberapa kali masih mati. Untungnya, upaya enggak begitu aja terhenti.
Desember 2020, BBT dapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan teman-teman dari Prasetiya Mulya dan @bincangbuku, akun buku nonfiksi terjemahan Gramedia Pustaka Utama (GPU). Saya diberi kesempatan untuk membaca How to Win Friends and Influence People in the Digital Age karya Dale Carnegie.
Dari buku ini saya sadar bahwa memberikan pengaruh baik ke orang lain itu enggak mudah. Butuh proses yang enggak sebentar pula. Kalau saya nyerah gitu aja dengan apa yang ingin saya capai, what’s the point of starting it?’
Dan saya pun mulai lagi.
2. Akhirnya ke toko buku offline lagi
Setelah 7 bulan beneran di rumah aja, akhirnya saya diperbolehkan keluar “kandang”. Ada salah satu tempat yang kepengin banget saya sambangi, yakni Gramedia. Ah, sayang kedatangan saya enggak disambut saxophone Kenny G. Hihi. Coba dengerin Gramedia Playlist di sini.
Ya ampun, enggak kebayang gimana kangennya ngabisin waktu berjam-jam di sana, lihat-lihat buku baru, atau borong buku-buku incaran yang udah lama ada di wishlist.
Pastinya tetap mengikuti protokol kesehatan, ya. Masker wajib, jaga jarak wajib, hindari kerumunan juga wajib. Meski sedih ngelihat tempat kesayangan ini sepi pengunjung, semoga penjualan online-nya tetap mendukung.
3. Dipercaya jadi host peluncuran buku You Do You
Kalau boleh jujur, ini adalah poin yang paling enggak pengin saya bahas di tulisan ini karena banyak banget kisah pahitnya. But yeah, again … hidup enggak selamanya manis, kan?
So, Desember 2020 lalu, saya dipercaya untuk menjadi host peluncuran buku You Do You karya Fellexandro Ruby, salah satu orang yang saya kagumi di media sosial. Beberapa hari sebelumnya saya riset sana-sini, juga kilat baca bukunya supaya lebih paham dengan alur obrolan.
Nervous? Parah.
Bukannya tanpa persiapan, tapi memang terkadang hidup enggak bisa diduga. Tahu enggak, di tengah-tengah acara berlangsung, (1) tiba-tiba koneksi internet saya terputus. Panitia bilang kalau video saya mati, padahal saya bisa melihat wajah saya di layar Zoom. Panik? Lumayan.
Untung saya bisa mengatasinya segera karena enggak lama, koneksi lancar kembali. Fyuh, lega. Namun, karena saya sempat reconnecting dan rejoin Zoom, chat yang sebelumnya sudah dibanjiri pertanyaan, terpaksa hilang gitu aja. Untung aja interaksinya cukup ramai sehingga ada pertanyaan lain yang bisa saya lempar.
Namun, ternyata saya kembali diuji. Entah acara sudah berjalan berapa lama, eh … (2) tiba-tiba mati lampu! Panik? Wah, pengin nangis rasanya. Untung saya udah siapin paket data di ponsel, bila sewaktu-waktu internet bermasalah. Meski video jadi mendadak gelap, saya tetap bisa mendengar Ruby berbicara.
Selang beberapa menit, lampu rumah menyala dan koneksi internet kembali terhubung ke Wi-Fi. Saya kembali melanjutkan acara sembari meyakinkan diri, “Yuk, Sin, bisa yuk!”, yang juga ditimpal seruan lain dalam hati, “!@#$%, kapan kelarnya, nih acaraaa?”. Mood udah keburu drop sembari harap-harap cemas.
Kesialan ketiga, (3) ponsel yang saya pakai kameranya terjatuh. Ya Tuhaannn … cobaan apa lagi iniii? Enggak habis-habis.
Okay, stay cool. Saya langsung membetulkan posisi ponsel dan kembali melanjutkan acara seolah-olah enggak terjadi apa-apa.
Bayangkan, kesialan yang terjadi bertubi-tubi … malunya berturut-turut. Enggak kebayang gimana komentar panitia dan ratusan audiens kala itu di dalam hati mereka. Mungkin aja mereka memaki-maki saya (semoga enggak, ya), “Ini gimana, sih, host-nya enggak persiapan banget? Nggak profesional!”
Saya juga udah pasrah kalau sewaktu-waktu book launch ini jadi bahan omongan panitia GPU x Pear Press di belakang, atau bahkan Ruby sendiri. Parah juga kalau pihak penerbit enggak mau ngajak kerja sama lagi.
Selesai acara, saya cuma bisa minta maaf atas ketidaknyaman yang terjadi. I was kinda feeling devastated. I was like, why thoooo? Dan kalau diingat-ingat lagi, duh rasanya cuma pengin blaming keadaan. Di acara sespesial itu, saya enggak bisa menghindari kemalangan.
Beneran deh, sampai beberapa minggu setelahnya, saya masih takut banget mengingat kembali apa yang terjadi di hari itu. Tapi entah kenapa, menceritakannya ulang lewat tulisan ini, semacam jadi penyembuhan buat saya.
Saya jadi teringat akan buku Gratitude dari Greatmind yang diterbitkan GPU dan Pear Press. Cerita pertama dimulai dengan tulisan Henry Manampiring yang membahas soal teori dikotomi kendali, yang juga dibahasnya panjang lebar dalam Filosofi Teras.
Hal-hal yang bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri hanyalah meliputi pikiran, pertimbangan, opini, tindakan, dan perkataan kita. Di luar itu semuanya merupakan hal yang di luar kendali. Mulai dari cuaca, kondisi ekonomi, siapa presiden kita nanti, sampai hal-hal seperti kekayaan, karir, reputasi, dan kesehatan kita.
Well, mungkin kalau dipikirkan ulang, rentetan kesialan yang saya alami bisa jadi masuk dalam kendali saya, tapi bisa juga enggak. Namun, yang baru saya sadari, hal-hal yang jelas bisa saya kendalikan ialah pikiran dan bagaimana saya menyikapi kondisi enggak mengenakkan tersebut.
Oke, seharusnya saya bisa tenang dan tetap tersenyum.
Hey, gpp, kok. Kan bisa jadi pembelajaran untuk ke depannya.
Enggak perlu nethink. Belum tentu panitia dan audiens mikir yang kayak kamu pikirin. You’ve done great!
Maybe it’s just a bad day? Persiapanmu udah oke, kok. Next-nya, jangan lupa device dan internet dicek sekali lagi, ya. Pastiin semuanya lancar.
I’ll be okay and you’ll be alright.
Andai saya bisa nyemangatin diri saya sendiri lebih cepat kala itu. Andai saya baca bukunya lebih awal.
4. Menambah target baca buku
Cerita selanjutnya, saya selalu yakin bahwa saya adalah pembaca lambat. Lantas, menentukan target baca yang tinggi (menurut saya, angka puluhan sudah cukup tinggi) adalah hal yang sulit banget digapai. “Sebulan bisa baca 1 buku aja juga udah bersyukur banget,” jawab saya ke siapa pun yang bertanya berapa target baca tahun ini.
Kalau dikulik tahun-tahun sebelumnya, sebenarnya saya bisa melahap 23 buku pada 2019 dan 44 buku di 2020. Seeee? Total 12 buku untuk setahun, tuh, kedikitan enggak, sih? Pasang target optimis, dong!
Challenge accepted. Saya mulai “mencobai diri” dengan menambah target buku di tahun 2021, yakni sebanyak 50 buku. Seeee? Belum pertengahan tahun aja sudah mencapai hampir setengah dari target.
Mungkin pembaca lain menganggap bahwa 50 buku belum ada apa-apanya. Tapi kalau saya bisa menuntaskan target tersebut, saya jadi punya pencapaian baru yang patut dibanggakan secara personal.
Bila mengulik Goodreads, so far comfort zone saya masih di buku puisi. Seenggaknya, ada 3 buku puisi yang jadi bacaan favorit saya:
- Salah Piknik karya Joko PInurbo: kejelian penyair dalam menangkap peristiwa besar dan kecil seputar pandemi, membuat saya merasa “Beginilah hidup, ada yang pergi, tapi ada yang datang kembali”. Puisi favorit: Yesus Naik Ojek, Sapardi, dan Requiem -J.O.
- Panduan Sehari-hari Kaum Introver dan Mager karya Lucia Priandarini: perasaan saya dibikin campur aduk (bikin kangen, ngikik, sampai merenung) kala membaca puisi-puisi berjudul Matinya Kernet Metro Mini, Artikel SEO, Keranda di Beranda, Gen Z, serta Perempuan-Perempuan yang Terlalu.
- Kita Pernah Saling Mencinta karya Felix K. Nesi: Tak cuma personal, buku puisi ini terasa begitu berani. Senang sekali bisa menemukan tema-tema yang tak biasa, seperti soal kering kerontangnya alam, isu Jakartasentris, hingga minoritas. Puisi berjudul Di Rumah Seorang Asing yang Tak Henti Membicarakan Rambut dan Warna Kulit berhasil memikat saya.
Buku-buku inilah yang menemani selama pandemi. Buku-buku ini jugalah yang meyakinkan bahwa hari-hari saya lebih dari biasa aja.
5. Lebih rutin baca buku dengan jadwal teratur
Karena target baca tahun ini meningkat, intensitas saya kala membaca buku juga harus meningkat. Selama pandemi, saya mem-block 1 jam di setiap pagi untuk membaca buku. Kenapa pagi hari? Setelah membaca buku You Do You, Fellexandro Ruby bilang kalau kita perlu mengenali jam pintar dan jam bodoh kita. Hal ini saya terapkan ketika membaca.
Seringnya, saya membaca pada malam hari sebelum tidur. Yang ada, apa yang saya baca enggak ada yang nyantol. Saya keburu ngantuk karena otak seharian udah panas dengan kerjaan ini-itu.
Pindahlah jam membaca di pagi hari. It works for me. Sebagai morning person yang enggak ada kesulitan buat bangun pagi, ternyata membaca di pagi hari lebih enak, lebih santai, belum ada beban pikiran.
Namun kadang yang jadi masalah, biasanya udah masuk jam mulai kerja, eh tapi saya masih kepengin baca buku. Hihi. Begitulah membaca, kalau sudah asyik, takut banget keterusan sampai abai dengan pekerjaan utama.
However, let’s be realistic. Jadi orang disiplin tuh enggak selamanya mudah. Kenyataannya, jadwal baca saya lagi bolong-bolong alias enggak beraturan. But thank God that I have reading buddies who will help me to speed up my reading and to keep on track. Yeah, at least, I’m still reading.
Bacaan selanjutnya apa, nih? Factfulness karya Hans Rosling akan jadi bacaan saya di bulan Mei karena didiskusikan bersama Griss dan Hestia. Oh ya, buku ini sudah diterjemahkan GPU.
Ya, di tengah kondisi yang serba enggak pasti kayak gini, saya patut bersyukur ternyata hidup saya (masih) baik-baik aja. Lebih bersyukur lagi karena ada buku yang hadir untuk mengisi, menyelamatkan, dan membuka kesempatan-kesempatan baru.
Saya enggak bisa membayangkan, apa jadinya hidup saya tanpa buku. Mungkin tulisan ini enggak akan pernah ada, mungkin saya yang sekarang enggak ada, mungkin upaya saya yang ingin membuat Indonesia lebih cinta membaca juga enggak ada.
Buku dan membaca adalah dua hal yang begitu personal. I do believe, I read, therefore I am.
0 Comments