Rencana Perjalanan 3 Hari 2 Malam Menjelajahi Suku Baduy

Jan 31, 2014

Rencana Perjalanan 3 Hari 2 Malam Menjelajahi Suku Baduy – Sudah cukup lama saya penasaran dengan Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Beberapa kali saya kerap melihat 1-2 dari mereka yang berada di lingkungan sekitar. Laki-laki dengan pakaian serba putih atau serba gelap, tidak mengenakan alas kaki, lalu menjual madu serta barang-barang lainnya di pinggir jalan.

Mengikuti kisah mereka nyatanya cukup menarik minat dan memberikan manfaat. Heran juga, bagaimana bisa ya, mereka sampai di lingkungan saya tanpa menggunakan kendaraan? Ya, setahu saya, masyarakat suku Baduy memang nggak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan untuk bepergian.

Lantas dengan apa? Jalan kaki. Cukup edan, ya? Sehari-hari saja kalau jalan kaki yang agak jauh, sudah ngeluh luar biasa. Bagaimana dengan masyarakat suku Baduy yang memang sehari-harinya berjalan kaki?

Maka dari itu, ketika ada tugas kuliah Komunikasi Antarbudaya untuk mengulas budaya masyarakat lokal, saya nggak ragu untuk meneliti suku Baduy lebih dekat, baik itu Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Saya mengambil waktu 3 hari 2 malam bersama tiga teman kuliah, yang mana cukup memberikan saya banyak pengalaman berarti.

Renana Perjalanan 3 Hari 2 Malam Menjelajahi Suku Baduy

Hari Pertama: Menginap di Baduy Luar

suku baduy dalam - suku baduy luar

Kereta ekonomi yang saya tumpangi dari Stasiun Serpong siang itu tampak begitu sesak. Berbagai pedagang bebas lalu lalang dari gerbong satu ke gerbong lain. Rela menjajakan barang dagangan mereka demi menyambung hidup. Tahu, snack, salak, aksesoris, tisu, minuman, dan sebagainya. Nggak kenal batasan usia dan status sosial, rasanya begitu merakyat ketika harus bersempit-sempit ria di salah satu bangku bersama penumpang lainnya.

Sesak, gerah, panas, sempit, bau asap rokok. Hhh… nggak heran kalau kereta yang membawa saya beserta ketiga teman lainnya menuju Rangkas Bitung hanya seharga Rp1.500 perak. Sangat murah.

Saking ramai dan sesaknya, selama di kereta saya harus lebih waspada ketika menjaga barang bawaan saya. Terlebih ketika ada seorang pemuda nggak dikenal –yang kelihatan celingak-celinguk– tiba-tiba duduk di dekat saya. Tampak ia sedang mengamati sesuatu. Pikir saya, sepertinya pemuda itu sedang menunggu orang-orang di sekitarnya lengah sehingga dirinya bisa “mengambil” sesuatu yang bukan miliknya.

Entahlah, mungkin itu cuma perasaan buruk saya saja. Namun untungnya pemuda itu segera beranjak dari tempat duduknya dan menuju entah ke mana.

Dua jam kemudian saya telah sampai di Stasiun Rangkasbitung. Dari sana, saya menuju Terminal Aweh dengan angkot nomor 07. Jaraknya nggak jauh, kira-kira 10 menit perjalanan. Di Terminal Aweh, ada beberapa mobil elf berbagai jurusan yang sedang ngetem. Tujuan selanjutnya adalah ke desa Ciboleger, jadi saya dan teman-teman menunggu saja di dalam elf.

suku baduy dalam - suku baduy luar

Dari yang saya baca, mobil elf ini enggak tentu kapan jalannya. Adapula yang bilang kalau elf akan jalan bila kursi sudah terisi penuh oleh penumpang. Duh, siang itu hanya kami berempat penumpangnya. Namun untungnya, kami nggak menunggu terlalu lama karena sepertinya nggak akan ada penumpang lain yang bakal ke desa Ciboleger.

Omong-omong, desa Ciboleger merupakan desa perbatasan sebelum menuju Baduy. Bisa dibilang desa tersebut merupakan titik awal menjelajahi suku Baduy dimulai. Baduy sendiri terletak di Kabupaten Lebak, Banten, di kaki pegunungan Kendeng desa Kanekes. Baduy merupakan panggilan yang diberikan penduduk luar.

Duh, rasanya makin nggak sabar sampai di sana! 😀

Oh ya, selama menjelajahi suku Baduy, ada dua pemandu yang menemani kami, yakni Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi. Akang-akang tersebut merupakan kakak-adik yang berasal dari Baduy Dalam. Ketika sampai di Ciboleger 2 jam kemudian, kami disambut oleh mereka.

Sebelum menjelajahi suku Baduy, saya dan teman-teman patungan untuk membeli beras dan berbagai makanan lainnya sebagai perbekalan di jalan, juga saat menginap nanti. Beras tersebut nantinya juga akan kami bagi kepada keluarga yang memberi tempat tinggal untuk kami, sebagai ungkapan rasa terima kasih.

suku baduy dalam - suku baduy luar

Oh ya, sebelum memasuki wilayah Baduy, kami harus mengisi buku tamu terlebih dulu untuk pendataan. Kemudian, mulailah kami berjalan kaki, menyusuri jalanan berbatu, naik-turun, pinggir jurang, dan lainnya.

Kalau dipkir-pikir, saya memang agak kurang persiapan, deh. Saya trekking nggak pakai sandal atau sepatu gunung. Pakai sandal biasa kalau nggak salah. Hahaha. Epic juga kalau dipikir. Belum bakat jadi traveler kayaknya. 😆

Makanya, nggak heran kalau beberapa kali saya kepleset karena alas kaki saya yang licin. Alhasil, Kang Sarwadi membantu membawakan tas saya. Jadi, saya hanya menggunakan tas ransel yang sebenernya nggak berat-berat amat. Fyuhh… gimana kalau naik gunung nanti, ya?

siap menjelajah budaya dan kearifan lokal masyarakat di desa kanekes.

Tadinya, kami berencana untuk langsung menuju Baduy Dalam pada hari pertama. Akan tetapi, langit kian gelap dan hujan yang mulai turun mulai menghentikan langkah kami. Kami juga sudah mulai kelelahan berjalan berjam-jam. Sudah lumayan kuyup dan bau apek. Akhirnya, kamu memutuskan untuk menginap di Baduy Luar terlebih dahulu.

Nah, pemilik rumah yang kami tinggali bernama Pak Kasmin. Sehari-harinya ia bekerja di ladang. Waktu sore itu kami sampai, ia belum pulang.

Oh ya, bicara soal Baduy, banyak orang mengatakan kalau Baduy merupakan suku yang terisolasi. Jujur, saya kurang setuju dengan pernyataan tersebut sebab menurut saya… masyarakat Baduy sangat terbuka dengan kebudayaan lain.

Dalam konteks isolasi, mungkin yang dimaksud adalah masyarakat Baduy mencoba untuk mempertahankan adat istiadat yang dimiliki oleh seluruh warga Baduy yang diwarisi secara turun-temurun. Mereka menolak untuk menerima kebudayaan lain yang sebelumnya tidak mereka kenal. Hal itulah yang membuat masyarakat Baduy (terutama Baduy Dalam) begitu mempertahankan adat istiadat yang menjadi ajaran hidup yang sudah mendarah daging.

berfoto bersama kang sarwadi

Masyarakat suku Baduy memiliki dua sistem pemerintahan yang mana mereka mengikuti aturan negara Indonesia dan mereka pun juga mengikuti adat istiadat yang ada. Kedua sistem pemerintahan itu diakulturasikan oleh masyarakat setempat sehingga tidak ada benturan.

Jaro pemerintah adalah sebutan untuk kepala desa dan pu’un adalah pemimpin adat tertinggi masyarakat Baduy. Pu’un mendapatkan jabatannya secara turun-temurun. Jangka waktu menjabat sebagai kepala adat pun tidak menentu, tergantung pada kemampuannya untuk menjabat masyarakat Baduy.

Banyak hal yang saya temukan ketika menginap di Baduy Dalam dan Baduy Luar. Yang paling tercermin tentu saja perbedaan adat-istiadat keduanya. Keragaman ini membuat saya semakin yakin, Indonesia memiliki budaya lokal yang nggak kalah menariknya dengan di luar negeri. Sama seperti hari pertama ketika saya berbaur dengan masyarakat Baduy.

bentuk rumah masyarakat baduy

Rintik-rintik hujan turun semakin deras. Bahkan, saya bisa melihat bulir-bulir air di ujung atap. Saat sampai di Baduy Luar, saya dan teman-teman disambut ramah oleh pemilik rumah. Kami disuguhi air minum yang ternyata diambil dari sungai. Rasa tanah masih begitu terasa. Awalnya merasa aneh, tapi lama-lama segar juga minum air sungai.

Sore itu, tak tampak banyak aktivitas yang dilakukan di sana. Hanya ada beberapa anak laki-laki yang bermain bola. Setelah menonton mereka bermain sebentar, saya memutuskan untuk mandi karena badan sudah dibasahi peluh.

Sebagai informasi, Baduy Luar memiliki “kamar mandi” seadanya, bahkan dalam keadaan ruang terbuka. Jujur, kaget banget ketika pemilik rumah menunjukkan kepada saya, “kamar mandi” mereka yang berdinding kayu dan memiliki celah di sana-sini. Hanya ada selembar kain yang menjadi penutup, tapi tentu nggak cukup.

Karena insecure aktivitas mandi saya bisa jadi tontonan, akhirnya saya mengurungkan niat untuk mandi. Namun untungnya, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi bilang kalau saya diperbolehkan mandi di rumah tetangga. Ternyata, mandi di rumah tetangga juga sama menantangnya. Hahaha. Gelap, euy! Bukan cuma gelap langit, melainkan memang nggak ada listrik sama sekali di sini.

Faktanya, untuk penerangan, masyarakat Baduy Luar biasanya menggunakan lampu minyak tanah sebagai lilin. Saat malam datang, Baduy Luar begitu gelap gulita. Nggak ada lagi aktivitas yang dilakukan di luar rumah.

Ketika malam datang, saya dan keluarga menunggu Pak Kasmin pulang dari ladang, untuk kemudian makan malam bersama. Keramahan di tengah suasana remang-remang membuat saya merasa dekat dengan mereka. Rupanya, begini hangatnya suasana kala menjelajahi suku Baduy. Ketiadaan listrik ternyata membuat kami bisa mengobrol lebih lama dan panjang lebar.

berfoto dengan anak-anak desa kanekes yang cantik

Ketika mengobrol, saya memerhatikan bagaimana masyarakat suku Baduy menggunakan bahasa mereka. usut punya usut, orang Baduy berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda, tetapi dengan logat yang kasar. Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi bisa berbahasa Indonesia dengan baik sebab mereka berdua sering bergaul dengan orang di luar Baduy. Itulah mengapa kami sama sekali nggak kesulitan ketika berkomunikasi dengan mereka.

Saya jadi tertarik untuk belajar bahasa Sunda, deh. Ya, meski sewaktu duduk di Sekolah Dasar, saya pernah mendapat pelajaran itu. Saya jadi tahu beberapa bahasa Sunda dari Kang Sarwadi seperti punten (permisi), teteh (sebutan untuk kakak perempuan), matur nuwun (terima kasih).

Informasi lain yang nggak kalah menarik yang saya dapatkan ialah rupanya mayoritas masyarakat suku Baduy menganut agama Sunda Wiwitan. Mereka bercerita bahwa ajaran agama tersebut hampir sama dengan agama Islam. Kemudian, hari raya agama Sunda Wiwitan berlangsung pada bulan terakhir (bulan ke-12) atau yang sering disebut bulan Hapid Kayu.

Ya… ternyata masyarakat Baduy mengenal penanggalannya sendiri. Kalau kita mengenal bulan Januari, Februari, Maret, dan seterusnya, mereka mengenal bulan Kasa, Karo, Katilu, dan sebagainya. Masyarakat Baduy pun juga mengenal adanya 12 bulan dalam setahun, sama seperti kita.

membuka warung adalah salah satu cara masyarakat mendapatkan penghasilan

Sehari-harinya, mata pencaharian masyarakat suku Baduy Luar sangat tergantung musim. Ada yang mencabut rumput di ladang, ada yang menjual souvenir khas Baduy, bahkan ada pula yang membuka warung.

Meski demikian, kebanyakan dari mereka bermata pencaharian sebagai petani. Hasil perkebunan dan pertanian seperti petai, durian, pisang, dan rambutan dijual ke pasar. Setiap paginya, bapak-bapak pergi ke ladang diikuti oleh anak laki-lakinya, sedangkan yang perempuan ikut ibunya. Entah itu mengurusi rumah, belajar menenun, mengurusi dapur, atau melakukan kegiatan lainnya.

Masyarakat Baduy Luar diperbolehkan untuk bercerai dan dibatasi setiap keluarga hanya memiliki empat anak saja. Sayangnya, anak-anak di Baduy Luar nggak bersekolah dan ini pun juga terjadi pada anak-anak di Baduy Dalam.

Dulu, Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi bercerita kalau pemerintah pernah berencana untuk membangun sekolah di Baduy, tetapi masyarakat menolaknya dengan alasan akan melanggar aturan adat. Itulah yang menjadi salah satu penyebab sebagian orang Baduy nggak bisa baca dan tulis.

Yang lebih bikin kaget, masyarakat suku Baduy rupanya juga memiliki mindset “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, kalau nggak bisa bekerja dan menghasilkan uang?” Jadi, selama ini anak-anak pure  ikut kedua orang tua mereka bekerja. Bahkan, Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi menyebut ladang sebagai “kantor”, bertani disebut sebagai “sekolah”. Unik juga, ya?

Eh iya, nggak kerasa kalau malam semakin larut. Kami memutuskan untuk beristirahat. Karena di sini nggak ada kasur, jadilah kami tidur seadanya di lantai yang sudah diberi alas tikar. Tas bawaan kami jadikan bantal. Meski cukup bikin pegal dan nggak nyaman, ajaibnya ternyata saya bisa tidur juga.

Esok hari, saya dan teman-teman sudah harus melanjutkan perjalanan ke suku Baduy Dalam. Kami harus mengumpulkan cukup tenaga karena kami masih harus berjalan kaki selama berjam-jam lagi. Baca perjalanan kami di hari kedua di tulisan ini, ya. Jangan lupa baca kisah kami di hari ketiga di sini. Selamat menjelajah! 🙂

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

2 Comments

  1. Nadella

    Wah kayaknya kalimat Masyarakat Baduy tidak terisolasi mesti dihighlight nih ?

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *