[BOOK REVIEW] The Things You Can See Only When You Slow Down Karya Haemin Sunim

Sep 19, 2021

[BOOK REVIEW] The Things You Can See Only When You Slow Down Karya Haemin Sunim – “Sin, gimana kabarnya?” Pertanyaan ini intens terdengar dari teman-teman satu tim di kantor, belakangan ini. Menanggapi pertanyaan tersebut, biasanya saya akan memberi salah satu dari dua versi jawaban yang kedengarannya sudah jadi template sehari-hari.

Jawaban versi pertama diawali dengan, “Puji Tuhan kabar baik” (yang terkadang sebenarnya nggak seberapa baik), lalu dilanjutkan dengan melontarkan pertanyaan yang sama ke lawan bicara. Saya merasa nggak adil kalau cuma mereka saja yang peduli dengan kondisi saya.

Jawaban versi kedua, saya nggak akan memberikan ucapan basa-basi, tetapi apa pun itu yang terlintas di dalam benak, yang benar-benar mewakili keadaan saya kala itu. Biasanya saya simpulkan begini, “Yaa … begitulah, ada ups and downs-nya.”

Kesehatan mental akhir-akhir ini memang jadi topik bahasan yang tengah digarap serius. Para Head didorong untuk melakukan 1 on 1 dengan rekan satu timnya untuk menanyakan bagaimana kondisi mereka (terutama kala WFH), apakah ada kendala yang dialami, apakah ada yang bisa dibantu.

Ketika percakapan ini terjadi, sejujurnya saya lebih senang jika dilakukan dua arah. Saya nggak ingin merasa tertekan karena harus bercerita semua-semua tentang saya selama kurang lebih satu jam. Kesannya malah seperti wawancara atau sekadar mengulik untuk formalitas, yang entah tujuannya beneran untuk ngobrol atau bukan.

Di sisi lain, dalam urusan pekerjaan, saya rasa kesehatan mental ini bisa masuk ke ranah tanggung jawab bersama. Ketika para Head memprioritaskan rekan-rekan satu timnya, saya mereka punya tanggung jawab yang sama kepada atasan saya.

Dan ya, fokus saya pada isu kesehatan mental ini bertambah ketika membaca buku The Things You Can See Only When You Slow Down karya Haemin Sunim. Beberapa kali ditanya teman kantor soal apa buku terbaik yang pernah dibaca, judul ini selalu jadi salah satu yang saya sebut. Beberapa teman nyatanya sudah baca, dan mereka setuju dengan pendapat saya.

The Things You Can See Only When You Slow Down Karya Haemin Sunim: Produktivitas, Kesehatan Mental, dan Mindfulness

Judul: The Things You Can See Only When You Slow Down (멈추면 비로소 보이는 것들)
Penulis: Haemin Sunim
Penerbit: Penguin Books
Terbit: 7 Februari 2017
Bahasa: Inggris
Jumlah halaman: 228
ISBN: 9780143130772

The Things You Can See Only When You Slow Down memuat 8 chapters yang dicacah ke dalam beberapa sub-bab. Apa yang ditulis Haemin Sunim sungguh relevan dan rasanya bikin pembaca pengin nyeletuk “Damn, I can relate”.

Membaca buku ini enak dan ngalir banget. Kalimatnya pendek, menohok, ada tujuannya, bukan sekadar bunyi, sekaligus menyejukkan. Penulis berhasil mengemas segala kekalutan dalam bahasa yang sangat ringan dan mudah dimengerti.

Hal lain yang membuat saya jatuh cinta dengan The Things You Can See Only When You Slow Down adalah ilustrasinya yang luar biasa indah. Tiny humans – a big universe, strongly represents that humans must be calm to see “something bigger/important,” more than we have seen.

Kemudian, tema yang diambil nggak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari. Menariknya, penulis juga mengaitkan “kesibukan yang sungguh melelahkan” ini dengan beragam hal dalam hidup. Bukan cuma soal pekerjaan, melainkan hubungan intra dan interpersonal, masa depan, sisi spiritual, dan lainnya.

Bila dikaitkan dengan pekerjaan, Haemin Sunim menuliskan beberapa gagasan yang meski nggak berbentuk tips atau instruksi langsung seperti buku nonfiksi self-development pada umumnya, sangat bisa diaplikasikan. Berikut ini beberapa hal penting yang saya tandai dalam buku.

1. “When you are stressed out, be aware of your stress. When you are irritated, be aware of your irritation. When you are angry, be aware of your anger. As soon you become aware of these feelings, you are no longer lost in them.”

Pernah beberapa kali rasanya pengin nangis ketika ngelihat laptop, ingat wajah atasan, plus desakan untuk kelarin kerjaan yang nggak akan ada ujungnya. Mual. At the moment I was very much aware that I just needed to stop and came back whenever I’m ready. This company I work for wouldn’t go bankrupt just because I took a few hours off.

2. “Wake up a little earlier in the next morning, and sit in silence, as if in meditation. Breathe in deeply and slowly; and ask yourself how your work is helping others, regardless of how insignificantly or indirectly.

Impostor syndrome jadi istilah yang sering saya dengar ketika pembahasan ini muncul dalam dunia pekerjaan. Ini adalah kondisi psikologis di mana seseorang meragukan kemampuan, bakat, atau pencapaian yang mengakibatkan perasaan nggak pantas menerima atau mendapatkan itu semua.

Nggak mau hal itu terjadi di diri sendiri, saya mencoba mengorganisir pola pikir supaya lebih tertata, seperti apa yang Haemin Sunim sarankan. Bangun lebih pagi (dan tidur lebih awal pastinya), miliki rutinitas di pagi hari agar tubuh dan pikiran menangkap sinyal-sinyal produktif sedari pagi.

Lalu, luangkan waktu untuk tanamkan pada diri bahwa apa yang saya kerjakan akan bermanfaat untuk banyak orang. Milikilah juga midset bahwa apa yang dilakukan bukan semata-mata untuk memperkaya perusahaan, melainkan untuk memperkaya diri dengan praktik langsung, lewat kesalahan yang dilakukan dan pelajaran yang diterima, lewat kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri.

3. “Are you feeling confused or conflicted? Allow yourself a good night’s sleep.”

Saya pernah sakit radang tenggorokkan selama 2 minggu dan sudah 2 kali pula konsultasi dengan dokter (sekali lewat aplikasi online dan sekali datang langsung). Karena nggak kunjung sembuh, seorang teman menyarankan saya untuk deep sleep. Yang saya lakukan, sebelum tidur jauh dari HP sama sekali, berdoa, matikan lampu, tenangkan pikiran, dan pejamkan mata. Dalam beberapa hari saja saya merasa jauuuh lebih baik.

Faktanya, tidur berkualitas akan membuat siapa saja bisa meningkatkan fokus dan meraih lebih banyak hal dalam satu hari. Orang yang memiliki istirahat cukup juga nggak akan gampang sakit.

Sederhananya begini, tidur cukup  dan berkualitas => badan segar, pikiran bugar => energi dan emosi positif => mau ngapain aja jadi enak.

4. “Those who work in a playful, relaxed manner tend to work efficiently and creatively. Those who work nonstop, driven only by stress, work without joy.”

Apa yang tertulis dalam The Things You Can See Only When You Slow Down kali ini berkaitan dengan apa yang saya ceritakan di awal. Penting untuk bisa membedakan mana sibuk dan mana produktif. Mungkin, kerja terus-terusan bisa bikin pekerjaan cepat kelar, tapi sayangnya kita nggak happy pas ngerjainnya. Makanya jangan heran kalau celetukan ini sering muncul di kepala, “Kok nggak habis-habis, ya, kerjaannya? Kelar satu muncul seribu.”

Namanya juga kerjaan, nggak akan nemu hilirnya di mana. Yang bisa kita lakukan hanyalah membatasi diri, tahu harus Y kalau sedang X, dan senantiasa menjaga kesehatan dengan istirahat yang cukup, workout, eat mindfully, dan minum air putih yang banyak.

5. “The mind cannot have two thoughts at once. See if you can think two thoughts at exactly at the same time. Well? Is it possible?”

Ini adalah tips produktivitas yang cukup mengubah cara bekerja saya. Dulu saya pikir seseorang yang bisa multitasking itu keren, nyatanya nggak sama sekali. Makanya ketika bekerja, saya coba untuk tentukan prioritas, cari tahu mana yang perlu dikerjakan sekarang, didelegasikan, atau dikerjakan nanti, lalu fokus pada 1 pekerjaan di 1 waktu. Hasilnya jauh lebih baik, pekerjaan bisa terselesaikan dengan optimal.

***

Menelaah gagasan-gagasan di atas mungkin sudah cukup membosankan karena sudah sering disebutkan di mana-mana. Masalahnya, sudah dipraktikkan belum? Saya jadi keingetan salah satu podcast favorit saya, Follow Your Flow, yang membahas soal action, bagian terpenting sehabis membaca suatu buku. Sila dengarkan pembahasan menarik mereka ini.


Kesimpulan

Pandemi satu setengah tahun belakangan boleh jadi momen paling gila buat saya. Energi dan emosi rasanya campur aduk banget. Beberapa kali saya ngerasa overwhelmed dan beberapa kali juga saya merasa saya butuh “pertolongan”.  Bisa dibilang saya termasuk yang beruntung. Saya lumayan paham apa yang harus dilakukan kalau segala beban di pundak udah nggak bisa dibawa lagi.

The Things You Can See When You Slow Down karya Haemin Sunim adalah karya yang menyelamatkan saya ketika saya butuh “pertolongan”. Ini adalah buku yang bisa ngisi bensin semangat, yang bisa menjaga kualitas “engine” saya.

Dan ya, membaca buku ini rasanya kayak lagi ngobrol sama psikolog. Haemin Sunim berhasil menyentil saya bahwa sebenarnya muara “sibuk” itu ada hanya bersarang di kepala, muter-muter terus aja di situ. Kenyataannya saya punya kendali penuh untuk mengelolanya. Benang-benang kusut itu perlahan terurai. Saya jadi bisa melihat hal-hal di sekitar dengan lebih jernih, bukan cuma dengan mata, melainkan hati.

This is the type of book I will read over and over again. This is The Mindfulness Bible of my life.


Bacaan Selanjutnya:

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *