Pengalaman Melukat di Taman Beji Griya Waterfall, Bali

Nov 21, 2022

Pengalaman Melukat di Taman Beji Griya Waterfall, Bali – Sebenarnya, tujuan utama ke Bali tahun ini tuh kepengin ikutan Ubud Writers & Readers Festival 2022 (UWRF). Ini pertama kalinya UWRF diadakan lagi secara offline, setelah kemarin-kemarin dapat dinikmati secara daring. Full of excitement pas ngikutinnya!

Tapi, mumpung lagi di Ubud, sekalian pengin melukat di Taman Beji Griya Waterfall, deh. Udah sering banget lihat cerita sana-sini tentang melukat. Ternyata, ini adalah salah satu pengalaman baru nan berharga yang kayaknya nggak akan aku lupain, deh.

Pengalaman Melukat di Taman Beji Griya Waterfall, Bali

Melukat sendiri merupakan prosesi pembersihan diri secara spiritual menurut agama Hindhu, yang sebenarnya boleh diikuti siapa pun tanpa memandang agama apa pun.

Dari The Evitel Ubud, aku dijemput sopir rental mobil yang siap mengantar saya untuk menjelajahi Ubud, Canggu, sampai Uluwatu.

Taman Beji Griya Waterfall adalah destinasi pertama hari ini. Saya sampai di sana sekitar pukul 1 siang dan langsung diarahkan ke loket. Ternyata, di sini bukan cuma bisa melukat aja. Pengunjung juga bisa menikmati serangkaian prosesi (ada 3-4 lainnya kalau nggak salah), yang salah satunya adalah buka aura.

Harga asli untuk menjalani semua prosesi adalah Rp1 juta, tapi ada diskon jadi Rp800 ribu. Kalau ambil 3 prosesi aja, ada diskon jadi Rp500.000.

Karena tujuan saya siang itu memang hanya ingin melukat tanpa tambahan proses lainnya, jadilah saya saya membayar Rp200.000. FYI, di sini bisa bayar secara cashless, ya.

Saya langsung dipinjami kain —bisa pilih merah atau hijau— untuk menggantikan pakaian yang saya kenakan. Saya pilih warna merah (tentu saja), favorit saya.

Kemudian, saya diantar ke loker dan ruang ganti. Ada perempuan berkebaya Bali yang membantu saya memasangkan kain. Saya request untuk menjadikan kain tersebut sebagai bawahan atau rok saja, sementara saya akan tetap mengenakan atasan hitam saya. Untuk laki-laki, kalau masih tetap ingin mengenakan atasan pun juga nggak masalah.

Setelah menaruh tas berisi pakaian ganti dan dompet di loker, saya ditemani Bli Udik untuk menjalani proses melukat. Melukat ini bisa dilakukan sendiri atau bersama grup, ya.

Bli Udik sempat meminta HP saya sebelum mulai. Rupanya, ia merangkap jadi fotografer/videografer pribadi. Jujur, hasilnya bagus-bagus semua! Memori HP sampai penuh karena videonya banyak banget. Hahaha. 😆

Saya jadi bertanya-tanya, apakah prosesi melukat ini sudah dijadikan sebagai destinasi wisata (komersil), ya? Saya cukup kaget ketika Bli Udik benar-benar mendokumentasikan seluruh prosesi dari awal sampai akhir.

Cara ia mengambil gambar pun bukan tipe yang seperti baru pertama kali gitu, lho. Dia tahu kapan harus ambil gambar dengan metode wide, kapan harus pakai size 4:3 atau 9:16, kapan harus pakai mode Portrait dan seterusnya.

Saya sempat cerita ke teman saya yang punya pacar warga lokal Bali. Sebenarnya, harga untuk prosesi melukat nggak semahal itu lho. Kalau kita mengerti tata cara dan urutannya, kita bisa membawa kain sendiri, membeli canang sari dan dupa sendiri, juga melukat sendiri.

Oke, kembali lagi. Bli Udik meminta saya untuk melepas alas kaki, lalu mengajak saya berkeliling dari satu patung ke patung dewa-dewi lainnya, sekaligus dijelaskan ini siapa dan apa perannya di muka bumi ini.

Misalnya, ada dewa-dewi yang berperan untuk menjaga lingkungan dan kesuburan tanah, melindungi air, menyebarkan cinta kasih, memberikan pasangan hidup dan keturunan, dan sebagainya.

Salah satu yang cukup membekas di ingatan adalah adanya Patung Dewi Kwan Im di sini. Saya mengenalnya dari ajaran agama Buddha, tapi menemukannya juga dalam tradisi Hindhu. Ialah lambang cinta kasih dan kerukunan.

Nah, selama melukat, saya membawa sekeranjang canang sari dan dupa sebagai tanda persembahan syukur. Setiap mendatangi patung dewa-dewi satu per satu, saya meletakkan canang sari dan dupa di depannya, lalu memanjatkan doa dalam hati yang berisi permohonan pribadi, seraya meminta izin untuk bisa melukat di Taman Beji Griya Waterfall ini.

Doa utama saya hari itu hanya satu: ingin melukatnya dilancarkan, lalu sepulang dari sini, hati bisa ngerasa lebih tenang, bahagia, dan damai sejahtera. Selebihnya, sudah pasti mohon kesehatan keluarga, keharmonisan, dan tentu saja pasangan hidup. Hehe. 🤭

Salah satu bagian dari proses melukat yang nggak akan saya lupa adalah ada momen di mana saya diminta untuk berdiri di bawah derasnya air terjun. Saya diminta berteriak sebanyak 3 kali guna mengeluarkan semua emosi dan energi negatif.

Sebenarnya, hari itu perasaan saya lagi adem-ayem aja. Saya sempet nyeletuk dalam hati, “Ah, kayaknya lagi nggak punya emosi negatif deh. Apa yang mau dikeluarin, ya? Bisa teriak nggak, ya?”

Hunjaman air  terjun kian menusuk kepala, bahu, dan punggung. Saya menikmati arusnya yang deras. Nggak lama, saya menutup mata, membuka tangan, mengingat kejadian demi kejadian yang bikin saya sedih, marah, atau bikin hati nggak enak, lalu bersiap untuk melepas emosinya.

“ARRGGHHH!!!” Seketika saya langsung menangis.

Kok tiba-tiba jadi sedih, ya?

Kok mendadak mellow, ya?

Tadi mikirin apa?

Saya mengusap wajah berkali-kali dengan tangan kiri. Air mata saya sudah berbaur dengan air terjun. Seenggaknya, nggak akan ada orang lain yang tahu kalau saya habis menangis.

Saya mengambil jeda sesaat sebelum kembali bersiap untuk berteriak kencang kedua dan ketiga kalinya. Rasanya lumayan lega, tapi kayak masih ada yang ngganjel. Kayak belum lepas banget. 😔

Lalu, saya menuju air terjun di sebelah kiri. Kata Bli Udik, setelah saya sudah mengeluarkan emosi negatif tadi, saatnya saya mengisi diri dengan beragam luapan emosi baik. Di sini, saya boleh mengingat hal-hal menyenangkan, hal yang bikin ketawa, hal yang bikin bahagia. Supaya perasaan pun jadi baik kembali.

Beneran deh, rasanya tuh nggak biasa ya, teriak, ketawa, atau senyum sambil menghadap batu di bawah air terjun. Tapi saya berharap perasaan-perasaan baik itu benar-benar mengisi hati saya kembali.

Sebelum prosesi melukan berakhir, seorang Ibu berkebaya memberi saya air kelapa untuk diminum, juga diusapkan ke kepala. Kemudian, Bli Udik menempel beras pada dahi dan leher saya, lalu meminta saya makan beberapa butir.

“Hah, beneran dimakan?” tanya saya dengan polos. 😂

“Benar, bisa,” katanya yakin. Oh, ternyata ini rasanya beras, ya. Hehehe.

Selanjutnya, ia memasangkan gelang tridatu yang sampai sekarang masih melekat di pergelangan tangan kanan saya. Gelang tridatu ini memiliki tiga warna: putih, merah, hitam. Warna putih melambangkan Dewa Siwa (perusak/pelebur), warna merah melambangkan Dewa Brahma (pencipta), dan warna hitam melambangkan Dewa Wisnu (pemelihara).

Katanya, gelang ini diyakini dapat menjauhkan pemakainya dari marabahaya dan melindungi dari segala energi negatif. Biarkan gelang ini copot dengan sendirinya. Ketika lepas nanti, itu artinya perlindungannya sudah selesai.

Wah, puji Tuhan, prosesi melukat berjalan dengan sangat lancar tanpa ada hambatan apa pun. Bli Udik juga baik dan sabar banget, mau ngejawab semua pertanyaanku yang baru pertama kali ikut prosesi melukat. Plus, jago banget motret dan bikin video! HAHA. Bersyukur banget didampingi olehnya selama melukat. ❤

Setelah berganti pakaian, saya disuguhi Teh Ginseng hangat yang rasanya enak dan menenangkan sekali. Ya ampun, melukat ini benar-benar membersihkan diri luar dan dalam, ya. Rasanya benar-benar jadi tenang. Nggak nyangka saya bisa menghabiskan waktu 2 jam di sini. What an incredible experience!

Ini adalah pengalaman spiritual yang nggak akan saya lupakan. Bila berkesempatan untuk kembali ke Bali, saya ingin coba melukat di tempat lain. Sepertinya beda tempat, bisa jadi beda prosesinya, ya?

Saya sendiri kepengin melukat bareng Ibu Desak dari @tridesnahealing karena sudah banyak yang menggunakan jasanya. Pun sepertinya lebih private dan personal karena ada sesi reading-nya.

Ah, jadi rindu. Semoga bisa ke(m)Bali secepatnya.


Ada yang Pernah/Ingin Melukat di Ubud Juga?

Baca juga:

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *