Hari Ketiga: Semakin Belajar Banyak Budaya Lokal Masyarakat Baduy

Feb 5, 2014

Hari Ketiga: Semakin Belajar Banyak Budaya Lokal Masyarakat Baduy – Pagi-pagi buta, ayam jantan saling bersahut-sahutan, berlomba-lomba untuk membangunkan jiwa-jiwa yang tengah tertidur pulas. Setelah melewati beberapa jam untuk beristirahat, saya pun beres-beres dan kembali ke desa Ciboleger. Memasuki hari ketiga, sudah saatnya pulang.

Berbekal sisa-sisa tenaga yang dimiliki, saya pun beranjak dari Baduy Dalam menuju Baduy Luar, kemudian menuju desa Ciboleger. Lelah tak terperi sungguh saya rasakan, mengingat saya harus menempuh waktu perjalanan selama empat jam (lagi). Hahaha, tahan-tahanin aja, deh. Berikut ini cerita perjalanan saya selengkapnya.

Hari Ketiga, Kembali ke Baduy Luar dan Sayonara!

suku baduy dalam - suku baduy luar

Ada rasa tak biasa yang bersarang di dada saya. Di satu sisi, saya masih ingin tinggal di Baduy Dalam dan menelusuri kebudayaan masyarakat ini lebih lama lagi. Namun di sisi lain, saya juga ingin pulang karena badan sudah mulai rontok.

Pagi itu, sisa-sisa gerimis yang masih turun lumayan membikin saya panik. Bagaimana tidak? Takut banget jalanan jadi licin dan becek sana-sini. Selain karena menyulitkan ketika sedang trekking, jalanan yang basah tentu juga berisiko terhadap keselamatan kita. Namun, dibawa dalam doa aja, yuk. Tuhan pasti melindungi selama di jalan. 🙂

Fyuuhh… perjalanan pulang di hari ketiga ini sepertinya yang paling menantang, deh. Saya, teman-teman seperjalanan, serta Kang Sarmidi dan Kang Sarwadi harus melewati turunan cinta. Saya pernah mendengar tentang hal tersebut dari seorang teman yang pernah ke Baduy, tapi nggak nyangka kalau definisi turunan cinta sama sekali nggak ada cinta-cintaan atau romantis-romantisnya.

Memangnya, apa sih yang dimaksud turunan cinta? Turunan cinta adalah sebuah jalanan yang amat terjal yang mana jika ingin melewatinya, kita harus bergandengan tangan. Mungkin, bergandengan tangan pikir mereka dapat melambangkan kasih sayang? Tapi ada hal yang perlu kamu tahu, jalanan ini super ekstrem! Apalagi sisa-sisa hujan membuat jalanan cukup becek dan berlumpur.

Ketika membuat tulisan ini dan membayangkan bagaimana perjalanan saya ketika ke Baduy dulu, sudah sepatutnya saya berbangga karena saya berhasil melewati medan yang cukup berat. Mungkin, medannya sama susah seperti naik gunung. Kami benar-benar harus hati-hati ketika melangkah supaya nggak terpeleset apalagi jatuh.

suku baduy dalam - suku baduy luar - Belajar Banyak Budaya Lokal Masyarakat Baduy

But, thank God! Setelah berjam-jam trekking, duduk sejenak dan minum, istirahat sambil menikmati pemandangan, finally bisa sampai di Baduy Luar. What an achievement for me! 😭❤ Nggak paham lagi deh, gimana kuyupnya sekujur tubuh. Plus ditambah udara yang lembab karena dua hari kemarin sempat gerimis.

Beruntung saya memiliki teman seperjalanan yang nggak gampang ngeluh, terus nyemangatin, kalau ada yang capek mau istirahat bareng-bareng, dan pastinya saling bantu sama lain. Mendadak kangen pengin cultural trip lagi!

suku baduy dalam - suku baduy luar

Sesampainya di Baduy Luar, ternyata ada pemandangan lain yang langsung ditangkap oleh mata. Ternyata ada seorang Bapak yang menjual durian! Wah, karena saya nggak suka durian, alhasil saya nggak beli, cuma numpang lewat aja. Eittsss… tapi penasaran juga, sih, kalau menjual hasil dari ladang seperti ini di rumah, siapa yang akan membeli, ya? Tetangga sekitar rumah, kah?

Soalnya, ketika di perjalanan, beberapa kali kami kerap bertemu dengan anak-anak yang membawa hasil pertanian, yang mana katanya mau dibawa ke pasar untuk dijual kembali. Maka dari itu, agak bingung juga nih, kalau dijual di rumah begini, siapa yang akan membeli, ya?

suku baduy dalam - suku baduy luar - Belajar Banyak Budaya Lokal Masyarakat Baduy

Aktivitas lain yang saya temui adalah ternyata banyak wanita yang sedang menenun kain, lho! Wah, saat di Baduy Luar pada hari pertama, saya nggak ketemu pemandangan ini. Nah, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, wanita Baduy memang diharuskan untuk bisa menenun kain sebab ini adalah salah satu sumber penghasilan mereka. Bahkan, katanya wanita yang nggak bisa menenun nggak boleh menikah, lho!

Proses menenun kain ini pastinya memakan waktu yang lama dan kalau dijual, harganya pasti mahal. Tadinya saya pengin coba ikut menenun, eh tapi takut malah merusak hasil karya Ibu ini. Hehehe. 😀

Hmm… setelah merasakan betapa berbedanya menjadi orang Baduy Luar dan Baduy Dalam selama tiga hari, saya pun juga mempelajari berbagai karakteristik budaya yang melekat pada masyarakat suku ini.

Meski Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki budaya yang sedikit berbeda, saya menemukan banyak poin penting mengenai budaya lokal masyarakat Baduy, yang menurut saya sangat menginspirasi. Berikut penjelasannya.

1. Masyarakatnya menghindari konflik

Baik masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar ssenantiasa menyesuaikan diri terhadap budaya-budaya yang ada dan selalu berusaha untuk menghindari perseteruan.

Mereka lebih memilih untuk menata kehidupan dan tingkah laku mereka sehingga keberadaannya bisa tetap dipertahankan. Masyarakat Baduy pun selalu bersikap santun dalam bertindak dan berbicara. Kepatuhan terhadap adat tertinggi pun menjadi tolok ukur bagi mereka untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

2. Budaya itu dipelajari

Ketika seorang anak lahir, tentu ia akan mengikuti kebudayaan maupun adat istiadat yang dipegang teguh kedua orang tua mereka. Masyarakat Baduy senantiasa menjalankan adat yang sudah mereka dapatkan sejak kecil. Begitu juga dengan Kang Sarwadi dan Kang Sarmidi.

Mereka telah terbiasa berjalan ke manapun tanpa alas kaki, sebab dari kecil pun mereka tidak mengenal sandal atau sepatu. Selain itu, mereka juga belajar bagaimana bertahan hidup dari pengaruh budaya modern. Mereka harus menjalani hidup sehari-hari tanpa alat komunikasi, internet, baju mewah, ataupun makanan enak dari tempat lain.

Kehidupan masyarakat Baduy juga bisa tergambar melalui peribahasa, “Perbuatan lebih berarti dari kata-kata dan tiada hasil tanpa jerih payah”. Laki-laki maupun perempuan menerapkan budaya dalam bekerja. Kalau mereka nggak bekerja, tentu mereka nggak akan menghasilkan apa-apa. Kerja keras masyarakat Baduy yang berasal dari penjualan suvenir, hasil bertani, maupun penjualan hasil pertanian nyatanya bisa membuat mereka hidup nikmat, meski keterbatasan materi kerap menghantui mereka.

3. Budaya diturunkan dari generasi ke generasi

Untuk karakteristik budaya ini tampak jelas. Suku Baduy memiliki warisan sosial dan budaya yang didapat dari nenek moyang mereka. Kalau melanggar aturan adat tersebut, mau tak mau mereka harus bersedia untuk mendapatkan sanksi dan hukuman.

4. Budaya pun didasarkan pada simbol

Bisa dilihat dari bentuk rumah, model pakaian, mata pencaharian, sampai tradisi-tradisi yang menunjukan bahwa masyarakat Baduy memiliki pandangannya sendiri akan suatu aspek kehidupan.

Pada intinya, masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam selalu berusaha memegang teguh budaya yang sudah masuk ke dalam aspek kehidupan mereka. Mereka tidak peduli bagaimana orang-orang di luar sana yang bisa menggunakan mobil, mengenakan baju ala perkotaan, tinggal di rumah mewah, ataupun menggunakan alat komunikasi.

Adat istiadat yang mengikat telah membuat mereka nyaman dengan apa yang dimiliki. Nggak dimungkiri, budaya setempat telah membentuk pemikiran, perilaku, dan cara pandang atas suatu kehidupan pada masyarakat suku Baduy.

Bawa Pulang Oleh-oleh

suku baduy dalam - suku baduy luar

Sedikit lagi sampai ke desa Ciboleger, kami mampir sejenak ke salah satu warung yang  ternyata menjual berbagai suvenir khas Baduy. Salah satunya adalah kaos yang menggambarkan peta Baduy ini. Wiihh… saya jadi ngebayangin apa jadinya kalau trekking hari kedua dilanjut hingga ke Cikadu, Cikartawana, bahkan ke Cikeusik yang paling jauh? Pingsan nggak, sih? Hahaha. 😀

suku baduy dalam - suku baduy luar

Yup, yup! Akhirnya sampai di desa Ciboleger! Puji Tuhan. Tiga hari yang sungguh luar biasa. Nggak nyangka banget bisa survive. Bawa pulang banyak pengalaman pula.

Eh iya, di meeting point desa Ciboleger, ada warung makan dan kamar mandi umum, lho. Sebelum pulang, akhirnya kami mampir ke sana dulu untuk mengisi perut sekalian mandi. Ya ampun, habis diguyur air tuh segernya pol, deh. Apalagi bisa keramas. Yang tadinya lepek, rambut langsung bagus lagi.

suku baduy dalam - suku baduy luar

Nggak lupa, kami kembali mengabadikan momen kebersamaan kami dengan berfoto di depan patung selamat datang. Terima kasih untuk kalian semua yang ada di foto ini. Tanpa kalian, trip singkat ke Baduy Luar dan Baduy dalam selama 3 hari 2 malam nggak akan terlaksana dengan baik. Kalau nggak ada kalian, mungkin tugas Komunikasi Antarbudaya kita juga punya cerita lain.

Semoga kapan-kapan bisa nge-trip bareng dan belajar budaya lokal masyarakat Baduy! 😀

Sintia Astarina

Sintia Astarina

A flâneur with passion for books, writing, and traveling. I always have a natural curiosity for words and nature. Good weather, tasty food, and cuddling are some of my favorite things. How about yours?

More about Sintia > 

4 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *